Muhdi juga mengingatkan bahwa keputusan pembelian Chromebook saat itu sebenarnya sudah sempat PGRI permasalahkan, namun aspirasi organisasi guru tersebut kurang mendapat perhatian.
Menurutnya, keputusan terburu-buru tanpa kajian mendalam membuat manfaat Chromebook di sekolah juga terasa belum optimal. Banyak guru yang mengeluhkan perangkat tersebut lebih sering membutuhkan pembaruan (update) dan kurang mendukung pembelajaran di kelas.
Terkait indikasi penyimpangan dalam pengadaan, Muhdi menyerahkan sepenuhnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit. Namun ia menilai wajar jika publik mempertanyakan alasan kebijakan ini, terutama menyangkut transparansi harga dan efektivitas penggunaan anggaran negara.
“Kalau ternyata benar ada markup, itu artinya kebijakan sejak awal tidak cukup pertimbangan. Mestinya dana sebesar itu lebih bijak untuk kesejahteraan guru,” tegasnya.
BACA JUGA: Hotman Paris Bantah Nadiem Makarim Terima Uang dalam Kasus Laptop Chromebook: Tak Sepeserpun
Ia mengingatkan bahwa di masa pandemi Covid-19, guru honorer menjadi tulang punggung pendidikan daring dengan bayaran minim.
“Guru honorer sampai sekarang masih banyak yang kesulitan. Kalau anggaran sebesar itu bisa dialihkan, tentu lebih terasa dampaknya bagi pendidikan Indonesia,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila