“Saya termasuk orang yang optimis atau tidak menyalahkan fenomena kebahasaan karena memang bahasa berkembang dengan unsur kesepakatan dan kreativitas bersama,” sambungnya.
Istilah baru sebagai bentuk ekspresi dan identitas Gen Z
Lebih jauh, Dhoni menilai jika terlalu banyak istilah baru juga dapat bersampak negatif. Misalnya, terjadi miss-communication dengan generasi lainnya karena kata yang sangat spesifik atau istilah tertentu yang hanya dipahami Gen Z.
“Bisa jadi akan muncul kesenjangan komunikasi antargenerasi, karena yang paham hanya generasi Z, misalnya. Bisa saja generasi atasnya sudah agak miss, begitu pula dengan generasi berikutnya,” kata Dhoni.
Kendati demikian, Dhoni memandang kultur bahasa termasuk istilah baru menjadi unsur penting bagi para Gen Z. Salah satunya agar mereka bisa mengekspresikan diri.
BACA JUGA: Demi Konten dan Ajang Healing, Benarkah Gen Z FOMO Mendaki Gunung?
Kadangkala, kata-kata atau istilah lama tidak cukup bagi para Gen Z untuk mengekspresikan diri mereka. Sehinga, secara tidak langsung mereka akan menciptakan bahasa mereka sendiri.
“Gen Z dapat menciptakan kata yang lebih kurang mewakili perasaan atau pengalaman yang unik dan spesifik, yang secara kebahasaan tidak terwadahi sebelumnya,” beber Dhoni.
Kemudian, ia juga menilai bahwa ragamnya istilah ini bisa menjadi identitas bagi Gen Z. Mengingat, bahasa memang tercipta oleh komunitas atau generasi tertentu dan sering kali memperkuat hubungan sosial di antara penuturnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi