“Upah buruh di Semarang belum mencerminkan realitas biaya hidup. Kami hanya meminta penyesuaian agar buruh bisa hidup layak,” ujarnya.
Menanggapi aspirasi tersebut, Ketua DPRD Kota Semarang Kadar Lusman menyatakan pihaknya akan memfasilitasi dialog antara serikat pekerja dan pemerintah kota. Menurutnya, komunikasi terbuka penting agar aspirasi buruh tersalurkan tanpa harus turun ke jalan.
“Setiap tahun serikat buruh menyampaikan aspirasi, dan kami selalu membuka ruang dialog agar suasana tetap kondusif. DPRD akan melibatkan Komisi D, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian, bagian hukum, dan BRIDA untuk mengkaji usulan ini,” kata Pilus, sapaan akrabnya.
Ia menambahkan, perbedaan pandangan antara buruh dan pemerintah perlu disinergikan agar keputusan yang diambil dapat diterima semua pihak.
“Kalau masing-masing membuat kajian sendiri tanpa berdialog, tentu tidak akan menemukan titik temu. Karena itu kami ingin mendorong solusi melalui komunikasi,” ujarnya.
Terkait UMSK, Pilus menilai perlu ada perhatian lebih bagi sektor dengan risiko tinggi seperti logam dan bahan kimia. “Sektor-sektor dengan tingkat bahaya tinggi harus mendapat pertimbangan khusus dalam penetapan upah sektoral. Tidak bisa disamakan dengan industri lain,” pungkasnya. (*)
Editor: Elly Amaliyah
									












