“Pemerintah ketika menyediakan student loan atau pinjaman untuk mahasiswa seharusnya tidak kemudian mengharapkan kembalinya (uang) dengan bunga. Atau langsung perguruan tingginya ada student loan untuk mahasiswa. Ini saya kira lebih bagus dan lebih bertanggung jawab menjadi cara mengatasinya,” jelasnya.
Kritik untuk program KIP
Lebih lanjut, Ngasbun mengatakan jika penyerahan mahasiswa kepada pihak swasta melalui pinjol merupakan bukti bahwa kampus mementingkan mekanisme ekonomi di atas segalanya. Ketika mahasiswa terpaksa meminjam dana dari sebuah pinjol, ia akan menjadi komoditi dan hal tersebut membahayakan dunia pendidikan.
Ngasbun pun menyoroti adanya program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang ternyata belum mampu menangulangi persoalan ekonomi mahasiswa.
“KIP harus diperluas karena KIP saat ini hanya sedikit yang mendapatkan, nominal juga perlu ditingkatkan,” ucapnya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga semestinya bisa menjamin anggaran pendidikan minimal 20 persen benar-benar terpenuhi dan tersalurkan untuk pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undang.
Namun demikian, Ngasbun menilai permasalahan ini muncul karena adanya akses pendidikan yang masih ekslusif. Oleh karenanya, ia mendorong adanya upaya dari pemerintah untuk menurunkan biaya perkuliahan yang dirasa terlalu tinggi.
BACA JUGA: Kisah Alumni UNNES Cicil UKT Saat Masih Kampus Fasilitasi, Tanpa Bunga Sama Sekali!
“Manfaatkan (dana 20 persen) itu sebaik-baiknya, salah satunya untuk membantu student loan ketika ada mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi untuk membayar UKT. Tapi langkah jangka panjangnya harus ada upaya menurunkan biaya pendidikan,” tandasnya.(*)
Editor: Farah Nazila