“Berdasarkan catatan kami, justru sekarang yang sudah banyak menerima manfaat ada di kota. Mengapa begitu? Pengusaha-pengusaha itu, mitra-mitra itu, memilih di kota, karena rata-rata ada SMA, SMP, yang jumlah siswanya per sekolah itu besar, sehingga tidak perlu mengantar banyak,” ujarnya.
Padahal, kata Muhdi, yang sangat membutuhkan justru siswa sekolah dasar (SD) di daerah pinggiran. Namun, karena sistem pelaksanaan MBG seperti saat ini lebih menguntungkan di kota, mitra penyelenggara cenderung memilih sekolah yang memiliki banyak siswa, seperti SMP dan SMA.
“Lah ini kan harus ada intervensi. Kalau mitra dibebaskan saja begitu untuk memilih, mana tepat sasarannya? Mereka pasti memilih yang efisien, yang mendapat untung lebih dari penyelenggaraan itu,” tegasnya.
Untuk itu, Muhdi menekankan perlunya intervensi pemerintah agar program MBG lebih tepat sasaran.
“Maka sekali lagi, catatan kami juga harus ada intervensi, mana-mana yang mesti terdahulukan. Kalau perlu sekolah di pendidikan dasar lebih dulu, di pinggiran lebih dulu, atau sebut saja yang lebih membutuhkan lebih menjadi prioritas,” tambahnya.
Muhdi minta pemerintah jangan tersinggung bila ada sekolah yang tolak MBG: siapa tahu kateringnya lebih bagus
Lebih jauh, Muhdi juga meminta pemerintah tak tersinggung bila ada sekolah yang menolak MBG. Menurutnya, penolakan bisa jadi karena sekolah tersebut sudah punya sistem katering sendiri yang ternilai lebih baik.
“Kalau menolak saya kira dicari pendekatan, dimungkinkan sekolah itu justru sendiri, mengelola sendiri,” ucapnya.
BACA JUGA: Usai Dugaan Keracunan MBG, Koordinator SPPG Ungaran Timur Bakal Awasi Ketat Pengelola Dapur
Ia menegaskan, pemerintah harus memprioritaskan sekolah-sekolah yang benar-benar membutuhkan. Sekolah elit yang sudah punya fasilitas katering sendiri sebaiknya tidak MBG jangkau dulu, sebab justru banyak sekolah pinggiran yang lebih layak menerima.
“Sekolah-sekolah yang katakanlah levelnya tinggi jangan di jangkau dulu. Karena masih banyak sekolah-sekolah di pinggir belum,” tandas Muhdi. (*)
Editor: Farah Nazila