Selain itu, dari sisi teknologi, bajaj masih berbahan bakar minyak sehingga tidak mendukung konsep transportasi berkelanjutan. “Kalau listrik pun, kita belum siap. Jadi secara konsep transportasi berkelanjutan, ini bukan langkah maju,” tambahnya.
Bagi Sebagian Orang, Bajaj Justru Jadi Opsi
Meski mengkritisi, Theresia mengakui ada segmen masyarakat yang terbantu dengan kehadiran bajaj. Terutama kalangan dengan daya beli terbatas yang membutuhkan transportasi murah untuk membawa barang.
“Bagi orang yang tidak mampu membayar GrabCar atau transportasi daring roda empat, bajaj bisa jadi solusi. Jadi, bagi sebagian orang bukan mundur, tapi opsi. Hanya saja, secara skala kota, tidak bisa di katakan sebagai kemajuan,” ungkapnya.
Sementara itu, kehadiran bajaj di Semarang mendapatkan penolakan dari DPC Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Semarang. Lewat musyawarah, Organda mengungkapkan bahwa bajaj teranggap akan menambah kemacetan di Kota Semarang.
Tak hanya itu, hadirnya bajaj dinilai tak selaras dengan konsep mass public transportation maupun transportasi ramah lingkungan yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.
BACA JUGA: Sensasi Naik Bajaj Keliling Semarang, Menikmati Angin Sore di Simpang Lima hingga Kota Lama
Sebelumnya, pihak bajaj Maxride juga telah mengungkapkan keinginan untuk menjadi feeder Trans Semarang yang menghubungkan jalur utama dengan kawasan permukiman.
“Kami ingin berkolaborasi dengan Trans Semarang agar layanan transportasi lebih terintegrasi. Rencana ke arah itu sudah ada,” jelas Bayu, City Manager Maxride dan Maxauto. (*)
Editor: Farah Nazila