Ita mengharapkan BUMD yang sudah diberikan keleluasaan itu bisa lebih optimal dalam pengembangan usahanya yang berimplikasi juga dengan deviden, tanpa harus terus bergantung dengan penyertaan modal.
“Mereka mengacu ke UU PT ini dirasakan ada hal yang mestinya menjadi peluang untuk mengembangkan diri. Kalau terus menerus nyusu, ya, percuma. Kalau dirasakan antara setoran modal dengan deviden enggak ‘cucuk’ (tidak setimpal),” katanya.
Beberapa BUMD milik Pemkot Semarang memang sudah besar dan menyerahkan deviden, seperti PDAM Tirta Moedal dan PT. BPR BKK Kota Semarang, namun Ita menyebutkan hasilnya belum terlalu memuaskan.
“Kayak PDAM, harusnya lebih besar lagi karena kan monopoli air. Enggak ada lagi yang lainnya. Diharapkan, kemarin (rakor pendapatan asli daerah, red.) menjadi lebih bersemangat dan berkontribusi lebih banyak,” tegas Ita.
Selain BUMD, Pemkot Semarang juga memiliki badan layanan umum daerah (BLUD), seperti Trans Semarang, namun pengelolaan keuangannya berbeda dengan BUMD, dan diharapkan bisa bisa lebih efisien.
“BLUD itu diberikan suntikan modal, tapi uangnya tidak dimasukkan jadi deviden, dikelola sendiri. Tidak dikembalikan ke pemerintah sebagai pendapatan, tapi dikelola. Mengelola itu juga efisien, karena ada saya temukan enggak efisien,” pungkas Ita. (*)
Editor: Elly Amaliyah