Letaknya yang berdekatan tersebut, menurutnya, menjadi bukti bahwa Kota Semarang sudah sejak dulu berbhineka tunggal ika. Hal itu pula merupakan simbol perwujudan Warak Ngendog yang merupakan perpaduan naga, buraq, dan kambing.
Harmonis Meski Berbeda Etnis
“Kota Semarang sejak dulu sudah akur, dan menjadi satu kesatuan. Kami memiliki Warak Ngendog, binatang yang jadi simbol plurarisme. Kono kepalanya liong atau naga unsur Tionghoa, badannya buraq unsur Arab, kakinya domba unsur Jawa atau Indonesia,” ujarnya.
Bertempat di kelenteng yang terletak di kawasan Jalan Gang Lombok ini, Mbak Ita menyatakan, memiliki magnet budaya dan daya tarik wisata yang luar biasa. Tiap tahunnya terdapat Kirab Laksamana Cheng Ho dan Dewa Obat.
“Di tempat ini pula, Gus Dur dikukuhkan sebagai bapak Tionghoa pada 10 Maret 2004. Bahkan saat itu Gus Dur menyatakan diri sebagai keluarga etnik Tionghoa dari marga Tan,” katanya.
Lebih lanjut, Politikus PDI Perjuangan ini menyampaikan, fondasi keberagaman antaretnis dan penganut agama di Kota Semarang. Harus kita tunjukkan untuk mempengaruhi Indonesia lebih baik dan makin maju meski berbeda etnis.
“Kota Semarang akan selalu mensupport kegiatan seperti ini. Saat ini kita harus erat pegang tangan dan tunjukkan kita bisa damai di tengah tahun politik,” katanya. (*)
Editor: Elly Amaliyah