“Memang sebagian dikeluarkan lewat urin dan feses, tetapi yang paling kita khawatirkan itu jika mengendap di jaringan, termasuk jaringan otak,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa penelitian menunjukkan adanya penurunan fungsi kognitif pada mereka yang sering terpapar mikroplastik.
Menurut dr. Pukovisa, hingga saat ini belum ada metode medis yang mampu menghilangkan mikroplastik yang sudah masuk dan mengendap di tubuh. “Satu-satunya cara adalah membatasi paparannya,” tegasnya.
BACA JUGA: Hujan Sebabkan Banyak Lubang, BBPJN Jateng-DIY Tambal Ruas Jalan Nasional di Ungaran
Menanggapi temuan ini, peneliti Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini, menilai bahwa pemerintah perlu mempercepat pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Ia menyebut aturan yang sudah ada berjalan sangat lambat.
“Pemerintah harus mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai. Sejak 2020 produsen wajib membuat roadmap pengurangan plastik, tetapi yang submit masih di bawah 100,” katanya.
Selain memperketat regulasi, Afifah juga mendesak pemerintah menerapkan prinsip polluter pays, di mana produsen yang mencemari wajib menanggung dampaknya.
“Jangan sampai beban ini hanya ditanggung masyarakat sementara pelaku industrinya aman,” ujarnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













