SEMARANG, beritajateng.tv – Pengalaman mencekam dialami Tecky Afifah Santy Amartha, dosen Kebidanan Poltekkes Semarang, ketika menjalankan misi WHO di Nepal.
Bagi Tecky Afifah Santy Amartha, pengalaman menjadi fasilitator pelatihan bidan di bawah misi WHO di Nepal seharusnya menjadi momen berharga pertama kali bertugas di luar negeri. Namun, kerusuhan besar yang terjadi di Kathmandu justru meninggalkan trauma.
“Ini pengalaman pertama saya ke luar negeri, seharusnya jadi momen membanggakan. Tapi justru ada trauma tersendiri karena kami terjebak dalam kerusuhan,” ungkapnya saat beritajateng.tv temui pada Jumat, 19 September 2025.
Selama tiga hari, ia terjebak di Hotel Himalaya akibat kerusuhan besar yang melanda ibu kota Kathmandu.
Suara ledakan, tembakan, hingga kepulan asap hitam yang terlihat jelas dari jendela Hotel Himalaya membuatnya merasa seperti berada di zona perang. Trauma itu semakin terasa karena ia belum pernah menghadapi situasi darurat serupa sebelumnya.
“Malam itu sangat mencekam, suara ledakan, tembakan, sampai sirene ambulans terdengar bersahut-sahutan. Dari jendela terlihat asap hitam mengepul. Rasanya seperti di zona perang, dan itu membekas sampai sekarang,” kenangnya.
BACA JUGA: Tiga Hari Terisolasi di Hotel, Dosen Poltekkes Semarang Ini Jadi Saksi Kerusuhan Nepal
Meski diliputi rasa takut, ia tetap berusaha menenangkan diri. Koordinasi dari KBRI, Kemenlu, Kemenkes, dan WHO yang terus memantau kondisi menjadi sumber ketenangan.
Menurut Tecky, trauma terbesar adalah ketidakpastian kapan bisa pulang dan bagaimana jika situasi semakin memburuk. Bahkan salah satu fasilitator WHO, Ai Tanimizu sempat memperkirakan mereka bisa terjebak dua sampai tiga minggu.
“Takut tidak bisa pulang, perkiraannya bisa terjebak sampai dua sampai tiga minggu. Syukurlah, kami difasilitasi WHO dan PBB untuk evakuasi setelah bandara dibuka,” tuturnya.
Pasca kejadian, Tecky mengakui butuh waktu untuk memulihkan kondisi psikologis. Dukungan keluarga, kolega, dan institusi menjadi faktor penting.