Scroll Untuk Baca Artikel
Pendidikan

Khutbah Idul Fitri: Memaknai Hari Kemenangan

×

Khutbah Idul Fitri: Memaknai Hari Kemenangan

Sebarkan artikel ini
Khutbah idul Fitri Maulid Nabi
Ilustrasi khutbah. (Foto: Freepik)

SEMARANG, beritajateng.tv – Khutbah Idul Fitri ini berisikan tentang Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Bukan saja karena telah melewati satu bulan berpuasa, tetapi seharusnya kita telah mencapai kemenangan spiritual dan sosial.

Mengutip dari laman NU, berikut ini contoh Khutbah Idul Fitri.

اللَّه أَكْبَرُ ٣×. اللَّه أَكْبَرُ ٣×. أَكْبَرُاللهُ أ٣×. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ. وَاللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِي الْمَحْشَرْ. نَبِيٌّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ

أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ الكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah

Alhamdulillah, pada hari ini kita telah merampungkan ibadah rukun Islam yang keempat, yaitu satu bulan berpuasa berikut rangkaian ibadah-ibadah sunah di dalamnya. Lalu, setelah kita meraih momen kemenangan ini, apa yang harus kita perbuat? Apakah berbangga diri dengan pencapaian spiritual yang telah dicapai? Atau merayakannya dengan penuh suka cita? Atau apa?

Idul Fitri bukan seperti turnamen sepak bola atau kompetisi lomba yang kemenangannya harus kita rayakan dengan euforia dan penuh kebanggaan. Kemenangan Idul Fitri adalah ketika kita berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial setelah satu bulan penuh melewati madrasah Ramadhan.

Secara spiritual, selama Ramadhan umat Muslim telah melakukan serangkaian ibadah. Mulai dari puasanya sendiri maupun ibadah-ibadah sunnah di dalamnya seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, beri’tikaf di masjid, dan sebagainya. Sudah seharusnya jika melalui bulan suci ini dengan maksimal dan melaksanakan beragam amalan di dalamnya, kita akan merasakan sentuhan dan pencapaian spiritual setelah bulan suci ini berlalu. Terkait puasanya sendiri, Allah swt menegaskan:

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).

Coba kita cermati ayat ini. Allah swt menyampaikan bahwa tujuan melaksanakan puasa adalah untuk melahirkan hamba-hamba yang takwa, yaitu orang yang mematuhi segala bentuk perintah agama dan menjauhi semua larangannya. Itu baru dengan puasanya saja, bagaimana jika kita mengamalkan beragam ibadah sunnah di dalamnya? Tentu kita akan menyentuh titik kematangan spiritual yang matang. Inilah sebuah pencapaian spiritual.

Idul Fitri, Memaknai Hari Raya dengan Suka Cita

اللهُ أَكْبَرُ ٣×، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah

Melalui khutbah idul Fitri saya ingin bertanya, apakah jika kita sudah melakukan banyak ibadah selama Ramadhan sudah selesai begitu saja? Tidak, kita harus menanamkan prinsip khauf dan rajā’. Khauf adalah kekhawatiran apakah ibadah kita diterima oleh Allah swt atau tidak, sehingga kita tidak terlalu puas dan berbangga diri dengan pencapaian ibadah. Sementara rajā’ adalah sikap optimisme bahwa Allah dengan sifat kasih sayang-Nya pasti mau menerima amal ibadah yang kita lakukan.

Saat Ramadhan berlalu, kita pun harus menerapkan dua sikap ini secara proporsional atau berimbang. Orang yang ibadahnya tidak didasari sifat khauf akan terlalu percaya diri dengan ibadah sehingga khawatir merasa cukup dengan amal yang telah kita lakukan. Sementara sifat rajā’ perlu agar kita tidak putus asa kepada Allah swt. Sifat raja’ ini kita lakukan dengan rasa optimis bahwa Allah menerima ibadah yang telah kita perbuat. Sebab, Allah sesuai perasangka hamba-Nya.

Imam Al-Ghazali dalam Iḥya’ ‘Ulūmiddīn menyampaikan:

أَنْ يَكُوْنَ قَلْبُهُ بَعْدَ الإِفْطَارِ مُعَلَّقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخِرِ كُلِّ عِبَادَةٍ يَفْرَغُ

Artinya, “Setiap selesai berbuka puasa, seyogyanya kita merasa khawatir sekaligus menaruh harap kepada Allah. Khawatir jangan-jangan ibadah kita tidak diterima, juga berharap bahwa Allah menerimanya. Sebab, kita tidak tahu apakah puasa kita diterima sehingga termasuk hamba yang dekat di sisi Allah, atau sebaliknya ditolak sehingga kita termasuk hamba yang mendapat murka-Nya. Sikap seperti ini harus diterapkan setiap selesai melakukan ibadah apapun.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [2016], juz I, halaman 319).

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan