“Untuk menghadapi situasi itu tentu butuh jam terbang, semakin lama semakin kita mentalnya terlatih. Awalnya rasanya tetap deg-degan dan takut, tapi lama-kelamaan terbiasa,” imbuhnya.
Relawan PMI Kota Semarang adaptasi dengan budaya daerah lain saat bertugas ke luar kota
Selain melayani di sekitar Kota Semarang, menjadi anggota PMI juga harus siap jika tenaganya dibutuhkan di daerah lain. Farah, misalnya. Ia pernah terpilih untuk membantu masyarakat korban gempa Cianjur selama satu minggu.
Menurutnya, membantu korban di luar kota merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Apalagi, setiap daerah memiliki budayanya masing-masing yang tak bisa disepelekan meski sedang dalam keadaan tanggap darurat.
“Kaya kita ke luar Semarang aja, itu udah beda, cara ngomongnya, bahasanya, cara bersikapnya. Itu yang harus kita pelajari. Jangan sampai kita dateng tapi kita tidak belajar kulturnya,” ucapnya.
BACA JUGA: Gandeng PMI Semarang, Arpusda Jateng Gelar Donor Darah Massal, Ini Alasan Batasi Pendonor
Namun demikian, Farah tetap bangga bisa menjadi bagian dari PMI Kota Semarang. Sebab, membantu sesama manusia adalah panggilan hatinya sejak dulu kala.
“Jadi relawan itu cari apa kalau bukan kesenangan hati dan kebangaan diri untuk kita bisa membantu sesama. Karena dari awal sebelum jadi relawan sudah tahu bahwa kita nggak ada bayaran, nggak ada janji-janji,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi