Perempuan yang juga Kepala Operasional LRC-KJHAM itu juga menilai proses pembentukan Raperda sangat tertutup dan tidak transparan. Yang mana menyebabkan Raperda tidak sesuai dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Situasi ini jelas menunjukkan bahwa DPRD Kota Semarang tidak serius melibatkan organisasi perempuan,” tegas Nihayatul.
Tuntut enam poin utama
Sebagai informasi, sebanyak 22 organisasi peduli perempuan mengikuti aksi ini. Di antaranya adalah LRC-KJHAM Semarang, LBH Semarang, Komunitas Perempuan Harapan Kita, Komunitas Dewi Sinta, Girls Up Diponegoro, SPRT Merdeka, eLsa Semarang, dan SG Sekartaji.
“Kami menilai bahwa Raperda tersebut belum bisa menyelesaikan permasalahan pemberdayaan dan perlindungan perempuan, mengabaikan kepentingan perempuan, serta tidak menyelesaikan masalah pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Kota Semarang,” terang Nihayatul.
Dalam tuntutannya, Aliansi Organisasi Peduli Perempuan Semarang memiliki enam poin penting terkait penyusunan Raperda Kota Semarang tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan.
Antara lain mengkaji ulang penyusunan Raperda Kota Semarang tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan; memastikan penyusunan Raperda harus partisipatif dan transparan, memastikan Penyusunan Raperda harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak memotong/mengurangi isi hak-hak perempuan korban sebagaimana Undang-Undang.(*)
Editor: Farah Nazila