Harry menjelaskan, jurnalisme lingkungan bukan sekadar peliputan bertema alam, melainkan upaya menyajikan data yang akurat dan masuk akal agar publik dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ia menyebut pendekatannya sebagai writing with purpose atau menulis dengan tujuan yang memengaruhi langkah-langkah liputan.
Dalam kesempatan itu, ia mengutip buku Green Ink karya Michael Frome. Harry menyebut, jurnalisme lingkungan adalah menulis dengan purpose atau tujuan yang dirancang untuk menyajikan kepada publik data yang akurat dan masuk akal sebagai dasar partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Pengalaman panjangnya membuktikan prinsip itu. Ketika meliput rencana reklamasi Pulau Pelambung dengan material dari Singapura, Harry tak sekadar menulis peristiwa. Tujuannya jelas, agar publik memahami dampaknya dan mendorong pembatalan rencana tersebut. Dari situ ia menentukan data yang dibutuhkan, narasumber yang harus diwawancarai, dan arah berita yang harus diambil.
Tujuan akhirnya, kata dia, bukan sekadar agar berita terbit. Akan tetapi, agar publik terinformasi dengan baik dan bisa ikut menentukan arah kebijakan lingkungan.
“Kalau publik tidak paham, mereka tidak bisa berpartisipasi. Dan kalau tidak ada partisipasi, kebijakan hanya jadi milik segelintir orang,” ujarnya.
Membangun Kesadaran Kolektif
Pendekatan Anumita dan Harry tampak berbeda, namun keduanya bergerak ke arah yang sama, yakni memastikan bahwa perubahan lingkungan tidak hanya terjadi di atas kertas.
India menata ulang sistem transportasinya melalui kebijakan berbasis data, insentif, dan pembiayaan kolektif. Indonesia, melalui kerja jurnalis lingkungan, membangun ruang partisipasi publik agar kebijakan tidak berjalan tanpa pengawasan.
Keduanya berangkat dari premis yang sama, yakni perubahan hanya mungkin jika masyarakat memahami masalahnya dan merasa terlibat di dalam solusi.
Pendekatan policy-driven seperti yang India lakukan membuktikan pentingnya kepemimpinan pemerintah dan kapasitas teknokratis dalam mengeksekusi visi lingkungan. Namun tanpa jurnalisme purpose-driven, kebijakan bisa kehilangan akuntabilitas dan legitimasi sosial. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi









