SEMARANG, beritajateng.tv – Diskusi menarik terjadi saat Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) RI Natalius Pigai menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa dalam kuliah umum di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Diponegoro.
Mahasiswa tersebut bertanya perihal program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto yang tengah diperdebatkan, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG). Terlebih, Jawa Tengah menjadi provinsi dengan penyumbang kasus keracunan MBG yang tergolong tinggi.
Menjawab pertanyaan mahasiswa tersebut, Pigai menegaskan program MBG hadir untuk membuat rakyat Indonesia tak cuma pintar, namun sehat dan kenyang.
“MBG adalah program yang mempersiapkan tidak hanya sekedar rakyat yang pintar, tapi juga rakyat harus kenyang dan rakyat harus sehat,” ujar Pigai.
Kata Pigai, Pemerintah RI menarget sebanyak 36 juta penerima MBG. Ia pun membandingkan jumlah penerima program serupa di negara lainnya seperti Brazil, yang menurutnya kalah jauh dengan MBG di Indonesia.
“Sampai dengan hari ini MBG sudah 36 juta [penerima], pemerintah sudah targetkan 36 juta [penerima]. Di Brasil itu 40 juta penerima, dia butuh 11 tahun. Indonesia baru 1 tahun sudah 36 juta, dari Februari sampai sekarang kan 11 bulan,” terangnya.
BACA JUGA: BPS Jateng Bakal Survei Dampak Program MBG, Sasar SPPG hingga Rumah Tangga
Dengan jumlah 12.508 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG se-Indonesia, Pigai menyebut sudah ada 1 juta makanan yang diterima siswa. Ia pun tak menampik adanya kasus keracunan sejumlah 0,0017 persen yang disebutkan Prabowo.
“Yang [keracunan] 0,0017 persen, berarti 99,99 persen sukses. Meskipun sedikit bermasalah di angka 0,0017 persen, kami tetap serius dan tidak boleh ada masalah lagi,” sambungnya.
Minta mahasiswa tidak hakimi program MBG, Pigai sebut ada kasus keracunan serupa di Jerman dan Amerika
Lebih jauh, Pigai menyinggung bahwa program serupa juga telah lama berjalan di berbagai negara. Di Amerika Serikat, kata dia, sistem free meal sudah ada sejak tahun 1950-an, begitu pula di Jerman. Namun, Pigai menuturkan, negara-negara tersebut pun tidak luput dari persoalan teknis, termasuk kasus keracunan.
“Di Jerman itu dua-tiga tahun lalu ada yang meninggal karena kesalahan. Di Amerika ada yang sakit, kena racun juga. Padahal ini sudah 60-70 tahun,” ujarnya.

 
									












