Lebih lanjut, ‘footloose industry’ atau industri yang pendiriannya dapat di mana saja sebab bahan baku hingga tenaga kerja dengan mudah ditemukan, menjadi mayoritas industri di Jawa Tengah.
Tak heran, penopang perekonomian di Provinsi ini terdukung oleh industri tekstil dan alas kaki. Berbeda dengan Provinsi Jawa Barat maupun Jawa Timur yang berbasis pada industri manufaktur yang butuh SDM dengan kualifikasi tertentu. Wahyu pun menyebutkan tantangan yang mesti pemimpin Jateng hadapi dalam mengatasi hal itu.
“Jateng masih didominasi industri tekstil seperti alas kaki, kayu, yang sebagian sangat bergantung dari impor. Jadi istilahnya export oriented tetapi bahan bakunya impor. Tantangannya ketika kurs kita melemah, itu bisa buat cost of production meningkat,” terangnya.
Evaluasi lain yang ia berikan, Wahyu menilai pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir tergolong stabil. Meskipun saat Covid-19 melanda sempat anjlok dari pertumbuhan ekonomi nasional.
“Melihat dari indikator ekonomi makro, melihat pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah dalam 10 tahun terakhir, sebenarnya sangat stabil. Bahkan 5 tahun terakhir sedikit di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi memang waktu Covid-19 lebih tertekan dari pertumbuhan ekonomi nasional, karena memang struktur ekonomi Jateng itu sedikit berbeda dengan nasional, wajar kalau goncangannya lebih besar,” pungkas Wahyu. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi