Scroll Untuk Baca Artikel
Catatan Editor

Film Vina: Edukasi Gak Harus Mengeksploitasi

×

Film Vina: Edukasi Gak Harus Mengeksploitasi

Sebarkan artikel ini
film
Ilustrasi film. (Pexels/Pixabay)

ISU sosial terkait film horor bertajuk Vina: Sebelum 7 Hari menjadi titik fokus yang menarik. Antusiasme luar biasa dari para penonton terhadap kisah yang diadaptasi Vina: Sebelum 7 Hari itu memasukkannya ke dalam daftar 10 film terlaris di Indonesia sepanjang masa. 

Sebagaimana diketahui, film horor garapan Anggy Umbara ini diangkat dari kasus pembunuhan di Cirebon pada tahun 2016. Tak tanggung-tanggung, dalam waktu 5 hari saja, film tersebut dapat menggaet sebanyak 2,5 juta penonton. Keberhasilan tersebut tak hanya menjadi sebuah prestasi membanggakan bagi sineas (orang ahli pembuatan film), tetapi juga menempatkan film ini dalam sorotan tajam.

Bahkan, sejak perilisan poster film Vina: Sebelum 7 Hari pada Kamis, 28 Maret 2024 lalu sudah mendapati kontroversi dari banyak kalangan. Poster tersebut menampakkan seorang wanita dengan keadaan berdarah-darah, merangkak menjauh dari segerombolan lelaki yang hendak menganiaya dan melakukan rudapaksa terhadapnya.

BACA JUGA: Ada yang Ganjal! Ini Fakta Terbaru tentang Kasus Pembunuhan Vina di Cirebon

Eksploitasi terhadap korban Vina semakin menggema setelah filmnya rilis di bioskop.  Sempat beredar pula cuplikan-cuplikan adegan pemerkosaan terhadap Vina oleh 11 anggota geng motor di platform sosial media X dan Instagram. Mirisnya, adegan tersebut diloloskan oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Mereka menyebut bahwa bagian kekerasan seksual tersebut masih dalam batas wajar untuk remaja berusia 17 tahun. Serta, menurut mereka, adegan itu dibutuhkan sebagai konteks awal film.

Film ini pun juga banjir kecaman warganet, termasuk aktivis perempuan hingga kritikus film. Mereka menyebut bahwa film Vina itu mengeksploitasi korban femisida dan tidak memberikan penghormatan pada penyintas kekerasan seksual. Femisida sendiri, menurut Sidang Umum Dewan HAM PBB, merupakan pembunuhan perempuan yang berdasar dari kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan bahwa perempuan sekadar objek kepemilikan.

Kalis Mardiasih, salah satu penulis dan aktivis yang vokal dengan isu perempuan menyebut bahwa film Vina: Sebelum 7 Hari itu memuat adegan kekerasan dan perkosaan brutal. Sehingga menurut Kalis, film yang berdasarkan tragedi tersebut ia anggap sebagai eksploitasi terhadap korban serta peristiwa tragis yang mereka alami.

BACA JUGA: Viral! Polda Jabar Akhirnya Umumkan 3 Pelaku dalam Kasus Pembunuhan Vina di Cirebon

Dengan adanya kontroversi tersebut, produser film Vina: Sebelum 7 Hari, Dheeraj Kalwani memberikan pembelaannya. Ia mengatakan bahwa filmnya bertujuan untuk mengedukasi para penonton, agar tak ada lagi Vina-vina berikutnya. Pembelaan Dheeraj tidak berkesinambungan dengan film yang kini telah menyoroti banyak atensi ini. Sebab, jika benar film Vina merupakan sarana edukasi, mengapa ia menunjukkan adegan kekerasan seksual sebegitu detailnya alih-alih berfokus kepada sisi psikologis dan cara penyembuhan korban? 

Dalam perspektif lain, film merupakan karya seni yang tentu memiliki tujuannya masing-masing. Memiliki tema yang beragam, jika sebuah film mengambil tema kekerasan seksual, sebaiknya jadikan hal tersebut sebagai langkah untuk membuat sebuah perubahan yang positif daripada menjadikannya sebagai hiburan yang tak berempati.

Adapun, kekerasan seksual adalah tindakan kejahatan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran terhadap kehormatan dan integritas seseorang. Ketika tema ini diangkat dalam film, seharusnya terdapat tanggung jawab besar pada pembuat film untuk tidak hanya menceritakan kisahnya, tetapi juga untuk melakukan pendekatan yang sensitif dan penuh empati.

Belum lagi menunjukkan kekerasan secara grafis dapat memicu trauma bagi penonton yang mungkin pernah mengalami hal serupa.

Dampak psikologis pun juga dapat muncul dari adanya penampilan kekerasan tersebut. Ketika kekerasan seksual ditampilkan secara berlebihan dan sensasional, ada risiko bahwa penonton menjadi kebal terhadap isu tersebut, mengurangi empati dan pemahaman mereka terhadap seriusnya masalah ini.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan