“Nah, dari situ lah tergambar bahwa sebaiknya rakyat juga menentukan. Kaum intelektual juga harusnya bersuara. Supaya apa yang dilakukan itu tidak separah-parah itu,” imbuhnya.
Sebut safari politik Ganjar Pranowo memengaruhi kinerjanya di Provinsi Jateng
Semenjak Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Capres, ia semakin eksis berkeliling ke luar daerah Jateng. Bahkan, sampai harus lari pagi di Gelora Bung Karno, Jakarta beberapa waktu lalu dengan dalih hanya berolahraga semata.
Melihat kondisi Jateng yang masih berhias berbagai masalah, salah satunya kemiskinan yang tinggi, Nur Hidayat menganggap Ganjar kurang berkonsentrasi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Ia meyakini, jika Ganjar memilih untuk meluangkan waktu akhir pekannya fokus mengurusi warganya, maka kemiskinan akan dapat teratasi.
“Kemiskinan kita itu kan signifikan ya, masih lumayan besar. Perhatian yang bisa langsung, bisa day to day, bahkan sampe akhir pekan. Kalau kita konsentrasi di kantor sampai akhir pekan, kemudian kita mengurusi hal-hal seperti itu (kemiskinan), hasilnya pasti akan lebih baik,” terangnya.
“Berikutnya, tindakan yang menurut saya kurang pas kalau masih sekarang itu jalan belum tuntas lalu pindah. Sama seperti juga kepindahannya untuk pencalonan, calon perseorangan. Padahal kan itu sisa jabatannya masih lumayan, berbulan-bulan kan. Itu tindakan tidak etis kalau begitu caranya,” imbuh Nur Hidayat.
Menyoal pengaruhnya terhadap kinerja, Nur Hidayat mengungkap banyak yang memaklumi tindakan Ganjar Pranowo sebab masyarakat Indonesia yang masih menganut budaya paternalis.
“Karena kan budaya kita budaya paternalis. Apa yang ada di atas, di puja di puji, pujiannya lebih besar daripada kritiknya, pasti akan mengenyampingkan aspek yang lain, soal ekonomi, budaya dan seterusnya,” pungkas Nur Hidayat.