“Jadi, tipikal perbuatan dan peristiwanya bukan hanya kualifikasi perbuatan pendidikan dokter spesialis ‘an sich‘ saja. Namun, dominan dalam kualifikasi pelayanan medis RS. Itu artinya berarsiran tebal dan turut serta bertanggung jawab secara hukum [yakni] pihak Menkes, Kemenkes, dan pimpinan RS,” tuturnya.
Persoalan hukum kasus dokter PPDS Undip
Terkait persoalan hukum yang terjadi dalam masalah ini, Joni menyebut obyektifitas investigasi dan penyelidikan harus merdeka dari opini dan “prejudice“.
Termasuk juga, kata Joni, tidak mengumbar fakta atau seakan-fakta yang belum teruji secara saintifik, “evidance based“. Serta, mematuhi hukum acara dengan prinsip presisi yang dapat membentuk opini publik.
Masih terkait dugaan perundungan, Joni menilai perlu pemeriksaan dan pengujian. Yakni, apakah fakta, perbuatan, ataupun serangkaian perbuatan itu dalam konteks penyelenggaraan PPDS, relasi dan interrelasi personal-sosial di luar aras PPDS, atau perbuatan norma etika kedokteran sesama sejawat dokter, atau perbuatan pidana.
BACA JUGA: Terungkap Fakta Baru Kasus PPDS Undip, Ada 2 Obat di Kamar dr. Aulia, Berarti Bukan Bunuh Diri?
Ia menegaskan penyidik Polri jangan sampai keliru dan gagal mengidentifikasi norma etika dokter ataukah perbuatan hukum.
“Apapun metode dan hasil laporan investigasi, ataupun berkas penyelidikan dan penyidikan ‘Pro Justisia’, maka secara hukum tidak lepas dari wewenang dan tanggung jawab hukum Menkes dan Kemenkes, serta otoritas RS,” ungkapnya.
Selanjutnya, Joni menegaskan apa pun hasil investigasi maupun penyelidikan, maka penting adanya pengawalan kasus agar tak lepas dari tanggung jawab hukum pihak terkait. (ant)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi