Kendala kedua, kata Farah, alat yang pihaknya gunakan masih sering eror, seperti memorinya hilang, sehingga perlu memindai ulang.
Selain itu, alat tersebut juga belum mampu mendeteksi penyakit mata dengan sesuai. Namun, ia memastikan bahwa akurasi alat ini masih memungkinkan untuk peningkatan lagi.
BACA JUGA: Warganet Tuduh Murid Banyak Tak Tahu dan Susah Baca Gegara Kurikulum Merdeka, Ini Kata Pengamat
Kendati demikian, alat yang memakan waktu pengerjaan hingga tiga bulan itu dapat mengalahkan pesaing lainnya yang berasal dari 21 negara di Asia, Afrika, Amerika Selatan, Oceania, hingga Eropa.
“Enggak nyangka, sih, lumayan kaget, karena inovasi negara lain lebih maju. Ada juga pihak China yang tekonologinya lumayan maju, jadi awalnya pesimis,” ucap Farah.
Kayla menambahkan, pesaing terberat berasal dari China dan Korea. Sebab, kedua negara tersebut terkenal akan kemajuan teknologinya yang pesat.
“Harapannya kami bisa mengembangkan alat ini dan kami bisa menyebarkannya untuk rumah sakit-rumah sakit yang terkendala jarak untuk mendeteksi penyakit mata,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi