Kepala Desa Banyubiru Sri Anggoro Siswaji menjelaskan desanya menerapkan digitalisasi karena sistem digital memudahkan masyarakat dalam mengurus berbagai hal. Desa Banyubiru sendiri sudah lama menjadi percontohan desa digital dan belakangan mendapat predikat desa anti korupsi. Desa Banyubiru kerap menjadi jujugan studi banding dari desa-desa di Indonesia.
“Awalnya justru karena ‘kemalasan’. Masyarakat malah mengurus dokumen dengan bolak-balik datang ke kantor desa, jadi mengapa tidak menerapkan digitalisasi, semua jadi lebih mudah dan bisa diurus di rumah,” kata pria yang akrab disapa Iing tersebut.
Sedikit berbagi tips, dia mengungkapkan kunci sukses digitalisasi adalah masyarakat sedikit ‘dipaksa’. Sebab, selama ini masyarakat sudah banyak menggunakan aplikasi e-commerce untuk tujuan konsumtif.
“Ini yang perlu diubah agar masyarakat menerapkan digitalisasi untuk tujuan yang produktif,” imbuhnya.
Di Desa Banyubiru, digitalisasi diterapkan dengan menggandeng sejumlah universitas dan Corporate Social Responsibility (CSR). Sebab APBDes tak akan mampu mengcover biayanya.
“Untuk membuat aplikasi saja perlu biaya Rp 30 juta dan kami semuanya mendapat gratis karena menggandeng perusahaan yang mengucurkan CSR,” paparnya.
Dia menyambut baik layanan digital dapat diterapkan di desa. Karena, dengan digitalisasi dapat mempermudah akses pelayanan kepada masyarakat mengenai informasi yang dibutuhkan dan mempunyai banyak manfaat, salah satunya di sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
“Pelayanan yang sifatnya sistem aplikasi desa untuk masyarakat, pemanfaatan era digitalisasi itu agar kita lebih mudah mencari peluang pasar jual beli lewat online. Jika kita bisa memanfaatkannya, maka produk UMKM yang ada di masyarakat dapat dimasukkan ke toko online. Kita harus bisa mengikuti perkembangan zaman agar tidak tertinggal,” paparnya. (adv)
editor: ricky fitriyanto