Sementara Jao Cuan, atau Tak Chuan, hingga kini masih banyak digunakan, terutama untuk pembuatan stempel khas China.
Proses Panjang Menuju Penetapan WBTB
Penetapan kaligrafi China sebagai WBTB tidak datang secara instan. Hwa Hing mengungkapkan, ia sempat menjalani serangkaian uji kompetensi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. Mulai dari pemaparan sejarah huruf, demonstrasi menulis kaligrafi, hingga pengenalan alat-alat tradisional.
Setelah lolos di tingkat kota, ia kemudian mewakili kaligrafi China Semarang dalam uji lanjutan di Kementerian Kebudayaan (Kemenbud). Bersama perwakilan enam kesenian lainnya, ia mengikuti pemaparan dan verifikasi bukti historis selama tiga hari, yang 12 juri ahli budaya nilai.
Dalam sesi tersebut, kaligrafi China dinilai tidak hanya sebagai seni rupa, tetapi juga memiliki manfaat pendidikan dan kesehatan. Teknik menulis yang menitikberatkan keseimbangan garis tengah dianggap mencerminkan pembentukan karakter, kesabaran, dan konsentrasi.
“Menulis kaligrafi melatih fokus dan kehati-hatian. Satu kesalahan saja, harus mengulang dari awal. Ini jadi nilai pendidikan yang kuat,” paparnya.
Dorong Regenerasi Anak Muda
Hwa Hing menyambut positif pengakuan ini dan berharap penetapan WBTB mampu mendorong minat generasi muda untuk mempelajari kaligrafi China, tidak terbatas pada anak-anak peranakan, tetapi juga lintas etnis.
“Harapannya ada regenerasi. Anak muda Jawa maupun peranakan bisa belajar dan melestarikan kaligrafi China agar tidak punah,” katanya.
BACA JUGA: MTQH XXXI Jawa Tengah 2025 Usai, Kafilah Kota Semarang Raih Juara Umum, Ini Daftar Juaranya
Penetapan ini juga sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendorong pengakuan kaligrafi China sebagai warisan budaya tak benda, sebagaimana telah berlangsung di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. (*)
Editor: Farah Nazila













