Beruntung, satpam yang merupakan orang pribumi itu bersifat baik. Ia bahkan membantu Anastasya lolos dari kepungan perusuh lainnya.
“Saya enggak tau nama satpamnya, dia nyuruh saya ngaku jadi istrinya, di jalanan distop orang-orang, diperiksa, ditanyain siapa nama satpam, saya asal nyebut ‘Martono’, ternyata benar,” ucap Anastasya sambil menangis.
Mei 1998 sisakan trauma mendalam
Selepas berhasil melewati kepungan perusuh, satpam kemudian mengamankan Anastasya di kediamannya.
“Saya di rumahnya 4 hari, setelah rasanya aman saya baru bisa pulang ke rumah, itu mukjizat terbesar bagi saya hingga saat ini,” ucapnya.
Lebih dari 25 tahun berlalu, Anastasya masih menganggap Tragedi 1998 sebagai mukjizat Tuhan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya apabila ia salah menyebut nama sang satpam.
Sayangnya, hingga saat ini, Tragedi 1998 menciptakan trauma besar bagi Anastasya. Rasa ketakutan yang luar biasa saat itu masih lekat di ingatannya.
BACA JUGA: Komunitas Tionghoa Semarang Refleksi Tragedi 98 Sambil Rujakan Pare, Simbol Pahitnya Masa Lalu
“Waktu itu rasanya sangat menakutkan, makanya sekarang jantung saya sakit, saya kagetan, saya takut tempat gelap,” sebutnya.
Namun demikian, Anastasya tak ingin hidupnya tenggelam dalam rasa dendam yang berkepanjangan. Bersama Komunitas Tionghoa di Semarang, ia ingin peristiwa kelam 1998 itu bisa menjadi pembelajaran.
Sehingga, ke depannya, keturunan maupun generasi muda etnis Tionghoa tak akan merasakan pengalaman serupa. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi