“Kami awalnya optimis mencapai angka 21,32, alasannya karena perkembangan industri sudah mulai pakai solar panel. Tetapi ada kebijakan yang mana industri itu tidak boleh menjual dayanya ke PLN, jadinya ada sedikit brebet di sana,” paparnya.
Bukan tanpa alasan, selain melakukan efisiensi energi, sektor swasta yang menggunakan panel surya (solar panel) menurutnya juga ingin mencari keuntungan dengan menjual listriknya kepada PLN. Sehingga, lanjut Boedya, hal itu tak mencapai titik temu.
BACA JUGA: 2.369 Desa Mandiri Energi Tersebar di Jawa Tengah
“Sisa listrik dari industri tidak bisa dijual, jadi (pemakaian EBT) menurun. PLN juga surplus daya, dia (PLN) pun sedang menggenjot pemasaran karena oversupply listrik. Kebijakan EBT memang mendorong penggunaan energi alternatif, namun itu salah satu sisi lemahnya kebijakan tersebut, yang mana itu muncul tidak terduga,” akunya.
Kendati pada tahun 2023 mencapai realisasi di atas target, namun Boedya menyebut target 21,32 persen pun cukup berat. Menurutnya, di tahun 2024 ini pihaknya masih mencapai angka sekitar 16 persen.
“Mengejar sampai 21,32 selama 2 tahun menuju 2025 itu ya berat, apalagi kemarin ada efisiensi anggaran dan infrastruktur untuk Pemilu. Ini agak tersendat di tahun 2024, jadi untuk mencapai target 21 persen itu cukup berat,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi