“Harga CPO bukan ditentukan produsen tapi bursa. Harga CPO naik karena beberapa negara mengalami krisis energi akibat batubara langka dan beralih ke CPO yang dijadikan bio diesel,” ujarnya.
Guna mengatasi masalah itu, lanjut dia, pemerintah telah menerapkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET). Selain itu, setiap eksporter sebelum menjual CPO ke luar negeri ada kewajiban untuk mengisi kebutuhan dalam negeri sebesar 20 persen.
“Tapi proses ini tidak berjalan lancar. Masyarakat juga melakukan panic buying sehingga menimbulkan kelangkaan,” ungkapnya.
Dikatakannya, sejak ada kelangkaan minyak goreng pada Desember 2022, pihaknya sudah melakukan Operasi Pasar (OP) bekerjasama dengan salah satu distributor.
“Di Jateng kita sebar 110 ribu liter untuk OP. Sejak 21 Februari -1 Maret 2022, OP lagi mendekati 1000 liter. Ini masih berlanjut,” paparnya.
Sementara Dosen Fakultas Hukum Unisri Surakarta Widiastuti mengatakan, yang terjadi saat ini adalah rebutan antara hak pangan masyarakat dengan CPO sebagai komoditas yang diperdagangkan sebagai energi. Negara yang saat ini krisis energi sangat mengandalkan CPO sebagai bio diesel untuk menggerakkan manufaktur. “Sementara produsen minyak goreng tak serta merta punya perusahaan sawit, sehingga saat ini beberapa pabrik tutup karena kesulitan mendapatkan CPO,” katanya. (*)