“Akhirnya dia baru bercerai karena menyadari bahwa ada 1 ayat di Al-Quran yang memperbolehkan perceraian karena faktor KDRT. Itu yang menjadikan penyadaran diri korban sangat lama,” sambung Ayu.
LBH APIK: Korban kasus KDRT berpotensi jadi pelaku
Lebih lanjut, Ayu menuturkan, KDRT bagaikan lingkaran setan bila tak segera terselesaikan. Pasalnya, jikaseorang perempuan atau istri yang menjadi korban KDRT, maka ia berpotensi besar menjadi pelaku KDRT.
Hal itu karena secara psikologis, ketika istri tidak mampu lagi menahan beban akibat KDRT, ia bisa melimpahkan emosinya dengan melakukan kekerasan pada anaknya.
“Dia lelah dengan kerjaan domestik rumah tangga, kemudian dia mendapatkan KDRT dari suami tidak punya temen cerita. Akhirnya menjadi gunung es dan meledak ke anaknya. Yang tadinya korban jadi pelaku,” papar Ayu.
BACA JUGA: Cegah Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, DP3A Kota Semarang Gandeng Media Edukasi Masyarakat
Untuk mengatasi permasalahan itu, lanjut Ayu, LBH APIK konsisten melakukan pendampingan, penyembuhan, hingga pemberdayaan. Tidak hanya ke pihak istri, tetapi juga ke pihak suami.
Selain itu, LBH APIK juga melakukan pelatihan-pelatihan khusus kepada penyintas sehingga mereka bisa terbebas dari lingkaran KDRT.
“Kami berikan pelatihan kewirausahaan, kami berikan alat bantu program usaha sesuai minat mereka. Harapannya, secara relasi ekonomi bisa lepas atau berdaya secara ekonomi sehingga tidak kembali ke lingkatan kekerasan,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi