Hal itu berkaitan erat dengan penggunaan alat digital seperti media sosial, AI, deep fake, yang politisi gunakan secara profesional. Lebih parahnya, kata dia, ada sokongan finansial yang membuat kampanye itu semakin masif.
Oleh sebabnya, Merlyna tak menampik adanya ‘pencucian citra’ saat Pilpres 2024 pada politisi yang mempunyai track record kelam di masa lalu.
“Terlebih ada dukungan sumber finansial yang mumpuni untuk memanipulasi pencitraan dan memainkan emosi masyarakat, terutama untuk whitening ya. Mencuci citra bagi para political figure dan kandidat yang punya masa lalu suram ya,” paparnya.
Ia menyebut, cara-cara seperti itu sangat efektif untuk memenangkan hati masyarakat Asia Tenggara.
“Masa lalunya yang abu-abu gelap atau malah berdarah-darah tercipta secara baru. Dan ini ternyata efektif digunakan di negara-negara di Asia Tenggara,” ucapnya.
Menurutnya, hal itu tak terlepas dari mayoritas Generasi Z yang menjadi pemilih pertama. Belum lagi dengan nihilnya literasi politik dan sejarah di kalangan tersebut.
“Bukan cuma Filipina dan Indonesia, bahkan juga Kamboja, Thailand, terutama bagi para Gen Z ya, karena mereka first time voter dan ketidakadaan literasi sejarah juga yang kosong di negara-negara itu,“ pungkas Merlyna. (*)
Editor: Farah Nazila