“Di Indonesia bisa denger azan 5 kali sehari, di sana jarang. Yang kedua makan juga agak sulit yang halal. Ketiga, orang-orang di sana termasuk profesor ngomongnya pakai akses british, dua bulan pertama harus merekam audio selama kuliah untuk mengantisipasi biar nggak ada yang ketinggalan,” ucapnya.
Tak hanya culture shock soal kehidupan sehari-harinya, Efri juga kaget dengan perbedaan iklim pembelajaran di sana. Menurutnya, metode pembelajaran di Inggris cenderung bebas namun juga menuntut mahasiswa menjadi lebih mandiri.
“Ibarat kata kita nggak wajib untuk datang karena emang nggak ada presensi, tapi kita mau nggak mau harus datang dan belajar, karena kalau nggak datang nggak bisa dapat ilmunya,” beber Efri.
Selain iklim pembelajaran, Efri ternyata cukup kesulitan saat menyusun disertasi. Pengalamannya lulus tanpa revisi skripsi ternyata tak berlaku di sana.
“Ada momen lima paragraf harus jadi satu paragraf aja, itu bikin berkesan, aku lebih terlatih bagaimana menulis tidak bertele-tele, singkat padat, tapi tidak mengurangi poinnya,” ujarnya.
Meski begitu, Efri berhasil menyelesaikan disertasinya tepat waktu. Ia berhasil menyelesaikan S2 dalam waktu satu tahun saja. Setelah ini, ia masih berharap untuk dapat melanjutkan pendidikan hingga S3 dan mengaplikasikan ilmunya di Indonesia kelak. (*)
Editor: Farah Nazila