Dia mengatakan, setiap kos terutama yang tanpa penjaga harus menyediakan satu ruang khusus seperti ruang tamu. Ruang tamu tersebut bisa digunakan ketika ada yang bertamu atau bisa dipakai bersama.
“Tentunya dengan pengawasan ketat, bahwa tidak boleh mengerjakan di dalam kamar. Apapun alasannya, entah laki laki maupun perempuan,” ujarnya.
Cermati nilai agama dan norma
Prof Marhaeni menilai jika fenomena kos bebas harus dicermati sesuai nilai agama, sosial kemasyarakatan dan patuh norma.
“Sekarang fenomenanya sudah luar biasa. Muda mudi jangan kan ketemu, gak ketemu saja bisa dengan gadgetnya video call dengan segala macem bentuknya, video mesum misalnya. Apalagi di kos-kosan. Di rumah saja kadang kita sebagai orang tua pasti was was. Kalau saya tentu gak setuju, harus ada pengawasannya,” imbuhnya.
Fenomena kos-kosan negatif untuk kegiatan prostitusi online atau booking online yang mereka kendalikan dari indekos.
“Itu banyak, ada. Sehingga menurut saya ini yang perlu ketat adalah RT RW-nya. Jadi betul-betul memantau rumah-rumah kos itu. Mungkin bisa ada Satgas tertentu memantau bagaimana aktivitas di rumah-rumah kos,” papar dia.
BACA JUGA: Jejak Kelam Kos Bebas di Kota Semarang: Ancaman Preman ala Warga hingga Jadi Lokasi Bisnis Haram
Satgas, menurut Prof Marhaeni, tidak hanya untuk pengawasan hal negatif. Melainkan bisa untuk memantau hal lain.
“Misal, ada anak kos sakit sampai tidak ketahuan, sampai meninggal berhari-hari kan gak ngerti. Ini karena tidak pedulinya lingkungan. Itu kebetulan yang sakit ya. Nah kalau itu dimanfaatkan untuk hal hal yang jelek, seperti prostitusi yang dikendalikan dari kamar kos, open BO. Kan bisa juga,” terangnya.
Dengan adanya Satgas di setiap RT RW, maka bisa ada kegiatan dalam sebulan dua bulan mengumpulkan para pemilik kos untuk sosialisasi. “Pemilik kos boleh mengambil benefit kosnya, tapi harus bertanggung jawab secara moral kepada anak anak bangsa ini,” tutur dia. (*)
Editor: Farah Nazila