PERTENGAHAN tahun politik ini, seorang politisi sekonyong-konyong berujar, tanpa tedeng aling-aling, bahwa Semarang adalah kota tertinggal. Sedianya, Politisi “D” itu berniat menjajal peruntungan untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2024. Baliho-balihonya telah banyak terpampang di sepenjuru provinsi, memamerkan rupa “politikus muda” beserta jargon-jargon kecil, pula gimik-gimik menghebohkan sekali waktu. Walakin, semua tetiba malih sewaktu partai tempat ia bernaung mengutusnya untuk berpindah laga, turun satu tingkat, yakni Pemilihan Wali Kota Semarang 2024.
Barangkali, itulah awal mula insiden keseleo lidah, atau blunder sebagaimana masyhur kiwari ini, yang membikin sebagian warga Kota Semarang ada yang tak terima dengan ucapannya. Barangkali pula, pikiran serta ucapan Politisi D yang mulanya hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Tengah belum ia reset menjadi mode calon Wali Kota Semarang. Ia berpikir serta berucap masih dengan hasrat di angan-angan ingin jadi calon gubernur.
“Dengan perkembangan Kota Semarang hari ini, kalau kita lihat dibandingkan ibu kota provinsi di pulau Jawa yang lainnya, hari ini Semarang masih tertinggal,” tutur Politisi D, beberapa waktu yang lalu. “Dan kalau kita bandingkan dengan kota-kota lain yang ada di Jawa Tengah, trennya hari ini Kota Semarang agak sedikit tertinggal,” imbuhnya tak berselang lama.
Dari ucapannya ia kentara mencoba membanding-bandingkan dari kacamata Kota Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah. Lalu, meneropong daerah lain lintas provinsi di Pulau Jawa. Termasuk ia arahkan pula sorotan ke kota-kota lain di Jawa Tengah sendiri. Boleh jadi perbandingan serupa tak akan terlontar darinya bila ia kembali berlaga dalam Pemilihan Bupati pada kabupaten yang kini masih ia pimpin sebagai petahana. Padahal, jika sendirinya beroleh komando untuk maju sebagai calon gubernur, klaim ketertinggalan semacam itu mungkin lebih pas ia gunakan mengingat Jawa Tengah ialah provinsi yang “masih tertinggal”.
Perkara klaim “kota tertinggal” ini membuat penulis tergelitik untuk merunutnya sedari Kota Semarang tempo doeloe. Penulis hendak mencari tahu, apakah Kota Semarang pernah tertinggal. Dan sebagian jawaban atas pertanyaan itu penulis peroleh dalam karya Mas Marco Kartodikromo, seorang “pengarang revolusioner” antikolonial Belanda.
Meneropong Semarang tempo doeloe, mencari jejak-jejak yang tertinggal
Mendengar nama Marco Kartodikromo, barangkali publik pembaca teringat pada novelnya yang cukup tersohor, Student Hidjo (1918). Namun, novel itu sebagian besar berlatar di Surakarta. Sehingga, pilihan jatuh pada karya Marco Kartodikromo yang lain, yang terbit pada 1914, yakni novel atau “soerat tjerita” bertajuk Mata Gelap: Tjerita jang Soenggoeh Kedjadian Ditanah Djawa.
Kisah Mata Gelap menampilkan latar kehidupan di Semarang tahun 1910-an. Marco Kartodikromo mengawali cerita dengan menggambarkan situasi hiruk-pikuk di Semarang:
“Ini hari hawa di ibukota Semarang amat nyaman, berpuluh-puluh orang laki-laki dan perempuan dari segala bangsa sama lalu di Jalan Bojong. Mereka itulah kebanyakan menuju ke Pasar Johar. Suara kendaraan, auto, fiets, dan lain-lain yaitu rupa pakaian yang dipakai oleh orang-orang perempuan seakan-akan mengaburkan mata si penonton. […] Kedua pemuda itu bertemu di jalan perempatan di muka Hotel Du Pavillon. Tak lama pula dia orang masuk ke rumah makan, Restoran Oewa. […] Di muka rumah makan Oewa banyak penumpang yang hendak pergi ke Kendal, Batang, Pekalongan, dll. Apabila trem sampai di muka rumah makan Oewa lalu berhenti, banyak penumpang sama naik di situ.”

Simbol-simbol kemodernan seperti auto (mobil), hotel, restoran, trem, pula kereta api dan lampu-lampu gas serta jalanan beraspal dan pembangunan kolonial lainnya di bagian lain cerita, menunjukkan Semarang ialah kota modern. Kehidupan manusia modern pun tak pelak menyertai simbol-simbol kemajuan tersebut. Terlebih, lewat penggambaran pelesir ala modern di ruang publik seperti aloon-aloon Semarang di kawasan Pasar Johar ini:
“Di alun-alun sini berpuluh-puluh orang datang. Mereka itu sama melihat keadaan di situ dan mendengarkan bunyi musik di kupel stadstuin yang amat merdu suaranya. […] Di alun-alun sini keadaannya sebagai biasa orang-orang yang sama mengunjungi di sini kebanyakan sama membaca program bioskop, ada pula yang sama melihat serdadu-serdadu yang main voetbal di sebelah tangsi, juga banyak yang berdudukan dan omong-omong kosong, begitu juga kupu-kupu malam yang berwarna-warna sayapnya sudah mulai mencari makan.”
Semarang betulan kota maju?
Marco Kartodikromo berupaya merekam perkembangan Kota Semarang lewat berbagai simbol kemodernan tersebut. Meskipun yang ia tulis adalah sastra yang notabene hasil kerja imajinasi, namun tentunya semua itu berpijak pada realitas yang ada. Data sejarah yang telah banyak tercatat di buku-buku pun membenarkan bukti kemajuan Kota Semarang. Misalnya, kala itu perusahaan-perusahaan Belanda memang lebih suka bercokol di kota pelabuhan seperti Semarang. Sebab, transportasi serta sarana modern lainnya di Semarang sebagai kota besar pada zaman kolonial itu jelas lebih memadai. Pun, dengan telah masuknya gagasan dan budaya Eropa seperti halnya koran, buku, teater serta hiburan semacamnya.
Lompat kembali ke abad XXI ini, tampaknya tak banyak yang berubah dari kemodernan Kota Semarang. Kecuali, trem yang memang telah lenyap beserta jalurnya yang kini malih jalan-jalan beraspal. Sisanya, “simbol-simbol kemajuan” itu, masih bisa kita lihat di Semarang hingga kini, dan jumlahnya tentu telah berlipat ganda. Maka, menganggap Semarang sebagai kota tertinggal agaknya kurang tepat, walau menengok dari sisi kemajuannya memang tak sepesat kota-kota besar lainnya.
Politisi D barangkali memang belum terlalu mendalami riwayat Kota Semarang, hingga ketika lidahnya keseleo mengucap “Semarang kota tertinggal”. Toh, ia kini masihlah seorang kepala kabupaten-mepet-Semarang; meskipun, sendirinya bukan kelahiran kabupaten itu, bukan pula provinsi Jawa Tengah ini. (*)
Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv