“Tentunya saya akan membahas ini di Kementerian Pariwisata dan UMKM. Ada nilai bagian dari kebudayaan, juga pariwisata,” sambungnya.
Gebyuran Bustaman, tradisi yang terjaga turun-temurun
Sementara itu, Ketua Panitia, Arif Hikam Syaifullah, menjelaskan Gebyuran Bustaman tahun ini berlangsung lebih meriah. Jika biasanya hanya tiga hari, tahun ini malah berlangsung selama satu minggu penuh.
Prosesi Gebyuran Bustaman dimulai dari Kamis malam, yakni arwah jamak. Hari Jumat, sarasehan warga berziarah di Makam Mbah Yai Bustam. Bahkan, Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha, turut hadir pada Jumat, 21 Februari 2025 lalu.
“Selain kehadiran Giring, tahun ini ada Samuel Wattimena. Beliau kemarin mengadakan fashion show di kampung yang sebelumnya enggak ada; jadi semoga bisa menjadi terobosan untuk mengenalkan kampung kami,” ungkapnya.
Ia mengisahkan, tradisi ini rutin berlangsung setiap tahunnya menjelang Ramadan. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang berlangsung di dalam kampung termasuk kulinernya, Gebyuran Bustaman tahun ini berisi kuliner beserta hiburan di luar kampung.
BACA JUGA: Peragaan Busana Kampung Bustaman Kota Semarang, Fesyen Bukan Hanya untuk Kaum Elite
Singkat cerita, gebyuran ini berawal dari kebiasaan Mbah Bustam yang memandikan cucunya menjelang Ramadan dengan cara menyiram. Tradisi itu yang kemudian coba dihidupkan kembali oleh warga sejak tahun 2012 silam.
Ia pun berharap, Kampung Bustaman dapat lebih terkenal di kalangan masyarakat. Tak hanya sebagai kampung gulai serta kampung jagal kurban saja, tetapi juga tradisi-tradisi yang ada di dalamnya.
“Harapannya, kami remaja Bustaman tetap dapat menjaga tradisi dari leluhur. Sehingga, budaya dan pariwisata Kampung Bustaman selalu terjaga,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi