Bagi mereka, Surat Keputusan (SK) dari Pj Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, yang disusul oleh putusan akhir Disdikbud Jawa Tengah kesannya terburu-buru.
“Hasil dari pengadilan belum ada, itu yang kami tuntut. Yang kami ketahui di kepolisian, belum ada pengadilan untuk kasus itu, masih meminta keterangan. Katanya naik ke penyidikan. Belum ada hasilnya siapa yang salah atau bagaimana,” bebernya.
BACA JUGA: Soal Piagam Palsu di PPDB SMA, Orang Tua Siswa SMPN 1 Semarang Berencana Gugat ke PTUN
Kontak terakhir dengan pelatih sudah lama, hanya dapat jawaban ‘Tidak tau, saya bingung’
Indah bersama orang tua lainnya tahu piagam itu bermasalah pada hari terakhir pendaftaran, 27 Juni 2024 silam. Di hari yang sama, Indah langsung menghubungi pelatih bersangkutan.
Namun, jawaban yang ia peroleh hanya pelatih berinisial S itu mengaku tak tahu atas piagam tersebut.
“Kami menghubungi pelatih by phone, itu masih tersambung. Jawabannya waktu itu, ‘Tidak tahu, saya bingung.’ Kita minta dia bertemu sama orang tua untuk menjelaskan, tetapi jawaban dia cuma ‘Saya bingung.’ Dari situ kita tidak pernah ketemu lagi, tidak pernah kontak lagi,” akunya.
Mbak Ita intervensi, siap berikan pendampingan psikologi bagi anak-anak
Hadir sebagai mediator, Mbak Ita mengaku baru mengetahui akar dari masalah tersebut. Alasannya, kewenangan itu berada di bawah naungan Pemprov Jawa Tengah.
Namun, karena yang terlibat adalah warga Kota Semarang, Mbak Ita merasa harus ikut mengawal. Agar antara kedua belah pihak segera menjumpai titik temu.
Mbak Ita meminta agar tidak berpikir buruk terhadap murid maupun orang tua yang mengalami masalah ini. Sebab, kata dia, mereka adalah korban dari dugaan pemalsuan piagam tersebut.
“Ini bukan salah anak, tapi stigma masyarakat ini anak-anak ini tidak jujur, sehingga perlu kita luruskan,” ujar Mbak Ita.
Di sisi lain, Mbak Ita memastikan jika Pemkot Semarang siap membantu pendidikan anak-anak kurang mampu yang tidak lolos di sekolah negeri.
Ia menyebut, Pemkot Semarang juga bersedia memberikan pendampingan psikologi bagi anak-anak yang mengalami trauma akibat kejadian ini.
“Anak tidak mampu bisa APBD biayai, dengan program beasiswa. Tapi kalau memang bukan dari kategori tidak mampu, kita punya program Gerbang Harapan untuk membantu mereka sekolah di swasta,” imbuhnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi