Baginya, terdapat kasus perempuan disabilitas yang keterangannya tidak dipercaya di pengadilan dan tidak mendapat aksesibilitas serta akomodasi yang layak selama proses peradilan berlangsung.
“Bahkan dengan situasi yang semakin tragis dengan berbagai hambatan dalam mengakses keadilan, termasuk visum yang masih berbayar, korban kekerasan masih mendapatkan stigma dan diskriminasi dari aparat dan masyarakat,” imbuhnya.
Minta pemerintah prioritaskan kasus pelanggaran HAM di tahun politik
Berdasarkan kasus di lapangan, dia menyebut bahwa pemerintah masih memiliki rapor merah dan pekerjaan rumah yang harus teratasi. Utamanya dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM.
Bertepatan dengan momentum Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2023, Jaringan Jawa Tengah menyatakan sikap tegasnya.
Adapun sikap tegas itu yakni mengecam segala bentuk pelanggaran HAM, menuntut negara untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, serta menuntut negara menjadikan isu pelanggaran HAM menjadi isu prioritas dalam tahun politik di tahun depan.
“Kami juga mendorong DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT),” tegas Leny.
Pihaknya juga menuntut tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM bagi kelompok rentan. Leny mendorong pemerintah untuk mengadvokasi korban kekerasan seksual maupun verbal dan memberikan ketegasan keadilan bagi pelaku kekerasan.
BACA JUGA: Lewat Layanan SAPA 129, Perempuan dan Anak yang Alami Kekerasan dapat Melapor 24 Jam
“Karena kita tahu sendiri pelaku ini dari berbagai macam elemen, kita tidak bisa menjamin orang-orang terdekat kita itu bakal menjadi pelaku atau tidak. Misal orang terdekat kita, guru ngaji dan sebagainya yang mungkin tidak bakal melakukan hal tersebut,” tandasnya.(*)
Editor: Farah Nazila