SEMARANG, beritajateng.tv – India dan Indonesia kerap disandingkan bak pinang dibelah dua: negara demokrasi besar di Asia, multikultural, dan menjunjung kebebasan pers.
Kesamaan itu menjadi pijakan dalam Voices of Tomorrow: Where Young Journalists Meet Editorial Wisdom, sebuah program pembelajaran yang berlangsung secara daring bagi jurnalis muda Indonesia.
Pada Sabtu, 30 Agustus 2025 lalu, sesi khusus mengangkat tema Human Rights Reporting bersama Chief Correspondent Reuters untuk Thailand dan Myanmar, Devjyo Ghoshal, dan Peneliti Human Rights Watch sekaligus Jurnalis Senior, Andreas Harsono.
Devjyot Ghoshal berbagi pengalamannya meliput konflik Myanmar di bawah junta militer. Hampir mustahil meminta komentar atau pernyataan dari pejabat setempat. Namun, kata Devjyot, jurnalis tak boleh ikut bungkam hanya karena pemerintah menolak bicara.
“Meski pemerintah menolak memberi tanggapan, tugas kita tetap mewakili sisi mereka. Itu bisa dengan cara menelusuri pernyataan lama atau catatan resmi yang pernah mereka keluarkan,” kata Devjyot.
Ia menekankan, tugas utama jurnalis adalah menghadirkan suara yang berimbang, bahkan saat pintu resmi pemerintah tertutup rapat.
“Meliput isu hak asasi manusia bukan soal cepat, tapi soal akurasi dan keberanian. Terkadang, bagian tersulit justru meyakinkan diri sendiri untuk terus bertanya ketika semua orang ingin kita berhenti,” ungkap Devjyot.
Pesan Devjyot itu relevan dengan situasi di Indonesia, terlebih setelah gelombang demonstrasi pada penghujung Agustus 2025 lalu yang berujung pada penangkapan ratusan pelajar dan mahasiswa oleh aparat di sejumlah daerah, tak terkecuali di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Situasi di mana aparat tak sepenuhnya membuka ruang komunikasi menempatkan jurnalis pada posisi penting, yakni memastikan publik tetap mendapat gambaran dan kebenaran secara menyeluruh.
Di Balik Penangkapan Massal: Suara Keluarga Korban, Bantahan Aparat, dan Tuntutan Transparansi
Sebelumnya, puluhan orang tua memenuhi Mapolda Jawa Tengah pada Minggu, 31 Agustus 2025, saat menjemput anak mereka yang aparat tangkap sehari sebelumnya. Tangis pecah ketika nama-nama mereka yang tertangkap dipanggil satu per satu untuk diserahkan kembali kepada keluarga masing-masing.
Sri Mulyani (47), misalnya, bercerita anaknya hanya pamit untuk membeli tas bekas di toko thrifting. Namun saat perjalanan pulang, anaknya ikut digelandang polisi lantaran berboncengan tiga dengan teman-temannya saat melintasi Jalan Pahlawan yang sempat menjadi lokasi demonstrasi.
“Anak saya tidak ada rencana untuk ikut demonstrasi, cuma kesalahan anak saya dia boncengan bertiga,” ucap Sri sembari menunjukkan tas bekas yang anaknya beli.
Sementara itu, Polda Jawa Tengah membantah jika penangkapan ratusan pelajar dan mahasiswa itu semata karena mereka “sekadar lewat”. Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda Jateng, Kombes Pol Siti Rondhijah, menduga jawaban seragam yang para pelajar dan mahasiswa lontarkan merupakan arahan provokator.
“Kalau yang menjawab begitu hanya satu atau dua orang mungkin kami bisa percaya. Tapi hampir semua jawabannya sama, berarti ada yang mengajarkan,” ujar Siti..
Senada, Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, mengungkap ada 327 orang yang pihaknya amankan lantaran polisi klaim tertangkap tangan melakukan tindakan anarkis.
“Tidak mungkin mereka hanya lewat. Semua kami tangkap tangan saat melakukan pelemparan, perusakan, ada bukti dan saksi,” katanya.
Dalam situasi seperti itu, Devjyot menegaskan jurnalis tetap bisa mencari jalan lain agar publik mendapat gambaran seimbang.
“Kalau otoritas menutup pintu, jurnalis bisa beralih ke akademisi, pengacara, atau kelompok masyarakat sipil. Mereka mungkin tidak berbicara atas nama pemerintah, tapi membantu kita memahami gambaran yang lebih besar,” ungkap Devjyot.
Ombudsman Jateng Minta Polisi Transparan
Di Indonesia, Ombudsman RI menjadi salah satu lembaga pengawas eksternal. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Siti Farida, menilai pengawasan eksternal krusial agar kepercayaan publik tidak runtuh.
Farida menegaskan, hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi harus dijaga tanpa intimidasi maupun kekerasan.
“Komunikasi antara aparat dan pengawas menurut kami perlu lebih optimal, terutama soal transparansi dan akuntabilitas. Ini komitmen kami untuk perbaikan ke depan,” ucap Farida.
Ombudsman juga menyoroti tuntutan rakyat pascademonstrasi bertajuk “17+8”, yang salah satu poinnya ialah memperkuat lembaga pengawas independen.
“Pengawasan internal Polri saja tidak cukup. Masyarakat butuh percaya kembali dan di situ pengawas eksternal punya peran penting,” tambahnya.
Tak hanya itu, Devjyot Ghoshal mengingatkan bahwa ketika pemerintah enggan membuka diri, jurnalis tetap bisa mencari perspektif lain dari akademisi maupun kelompok masyarakat sipil.
Konteks itulah yang membuat pandangan pengamat politik Unika Soegijapranata, Andreas Pandiangan, menjadi penting. Ia menyebut sikap DPR RI yang enggan menemui massa justru memperuncing krisis. Andreas menyoroti permintaan maaf Ketua DPR RI Puan Maharani yang hanya tersampaikan lewat media sosial.
Andreas menilai, demonstrasi yang berlarut adalah cerminan krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara. Ia juga mengkritik kenaikan tunjangan DPR RI yang publik nilai tidak pantas di tengah kesulitan rakyat.
“Ini sebetulnya krisis. Negara tidak hadir, aparat pun tidak mampu mengelola. Harusnya pemimpin turun, jangan malah menjauh. Kalau DPR peduli, mestinya malah mengurangi tunjangan sebagai bentuk empati,” ujar Andreas.
Kebebasan Pers, Penopang Demokrasi Indonesia dan India
Kisah orang tua menunggu nasib anaknya yang tertangkap aparat pascademonstrasi hingga kritik akademisi menggambarkan kompleksitas demokrasi Indonesia hari ini. Dalam ruang seperti itu, jurnalis dituntut tetap tegak menjaga integritas.
Devjyot Ghoshal mengingatkan, liputan soal hak asasi manusia (HAM) menuntut keberanian dan akurasi. Bahkan ketika semua pintu resmi tertutup, wartawan tetap harus mencari jalan untuk menghadirkan cerita yang seimbang.
Andreas Harsono menambahkan, keberanian itu harus berimbang dengan kerendahan hati dalam verifikasi. Transparansi, keterbukaan metode, dan disiplin pada urutan sumber menjadi benteng agar jurnalis tak sekadar cepat, tetapi juga terpercaya.
Pesan keduanya berpaut, yakni jurnalis tidak boleh diam ketika pemerintah bungkam, dan tidak boleh gegabah ketika suara publik memanas. Di India maupun Indonesia, dua negara demokrasi besar Asia, kebebasan pers akan kokoh jika dihidupi dengan keberanian sekaligus kehati-hatian jurnalis dalam menjalankan tugasnya. (*)