Menurutnya, paham radikalisme itu muncul saat suatu kelompok tidak bisa menerima perbedaan sehingga menyikapi perbedaan itu dengan kekerasan.
“Biasanya dia ada keterkaitan dengan jaringan trans-nasional, sehingga cenderung tidak menerima budaya lokal yang dihubungkan dengan pemahaman agama ekstrem. Misalnya ‘wah ini syirik’ dan cenderung menyalahkan,” terangnya.
“Padahal, dalam pemahaman agama yang moderat, budaya dan agama mestinya tidak boleh dipertentangkan. Budaya jalan, agama juga jalan sebagaimana dengan keyaķinan kita. Itu bukan sesuatu yang harus dipertentangkan,” tandas Haeruddin.
Sementara itu, Manager Program YPP, Muhammad Riski yang turut hadir dalam diskusi itu membeberkan poin penting dari SOP yang sedang pihaknya canangkan.
BACA JUGA: Kunjungi 5 Rumah Ibadah, Ini Cara SD Mataram Semarang Ajarkan Toleransi
Adapun poin dalam SOP yang ia susun, ialah bagaimana memberikan pemahaman bahwa isu terorisme dan radikalisme itu tidak hanya sebagai isu keamanan maupun isu aparat penegak hukum. Namun, lanjutnya, ini merupakan hal biasa yang bisa terjadi di masyarakat, sehingga masyarakat harus sadar gejalanya.
“Walaupun kita tidak ada dalam konteks untuk saling curiga antara anggota masyarakat, tetapi intinya jika ada tetangga yang menutup diti, apakah itu radikalisme? Tentu tidak. Kita mencoba memberi pemahaman kalau ada perubahan di masyarakat. Siapa tahu mereka menutup diri karena sakit atau meninggal,” jelas Riski. (*)
Editor: Farah Nazila