“Artinya pandangan masyarakat kita, kan, beda sama masyarakat luar, ya. Kalau masyarakat luar, kan, sudah terbiasa itu ada anjing, ada kucing, kemudian menikah dengan budaya dan adat international wedding, ya. Jadi kalau di Indonesia itu, kan, adat-adat itu punya aturan, punya tatanan, punya makna di balik kenapa mereka harus berpakaian, kenapa orang Jawa itu harus memakai gelung misalnya, orang Jawa harus berkebaya, itu harus berpaes. Itu, kan, punya aturan dan makna di balik itu,” beber Widyatwati.
Bukan sebuah kesalahan bagi Widyatwati jika pemilik anjing ingin mengadakan acara pernikahan bagi anabul mereka. Hanya saja, lebih baik jika tidak menggunakan adat budaya Indonesia, sebab pola pikir masyarakat yang tak bisa tersamakan.
“Bagi saya kalau memang mau mengadakan perkawainan seperti itu sifatnya internasional, ya. Di mana pandangan dan sorotan internasional itu sudah biasa menggunakan baju-baju internasional sepeti orang-orang asing. Orang-orang asing banyak yang menggunakan itu,” terangnya.
Pihaknya pun menyayangkan pernikahan hewan menggunakan adat Jawa tersebut. Terlebih, lingkungan sekitarnya terutama budayawan Jawa menjunjung tinggi adat Jawa yang penuh akan nilai-nilai dan berisifat esensial.
“Dari pranotocoro, kan, budaya Jawa itu sarat dengan makna, mungkin, ya, jangan langgar hanya untuk seru-seruan. Jadi kalau bisa kita sebagai masyarakat walaupun bukan orang Jawa kita bisa menghargai, ya. Karena adat dan martabat seseorang, kan, dijunjung juga dari adat istiadat mereka,” tandasnya.
Adat-istiadat Jawa, khususnya dalam tata cara pernikahan, mengandung makna yang sangat mendalam. Bahkan, pengantin yang menggunakan adat Jawa mesti melaksanakan pantangan sebelum melakukan prosesi pernikahan. Bukanlah hal yang patut jika kesakralan tersebut malah untuk menikahkan hewan yang tak memiliki akal seperti manusia. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi