Wahid menggambarkan, seorang yang ingin maju dalam kontestasi Pilkada harus mengeluarkan modal besar dengan nilai yang bervariasi, tergantung situasi tiap daerah.
“Faktor ketiga ada persoalan budaya. Saat ini masih politik mobilisasi, orang datang ke TPS dimobilisasi, akhirnya tidak banyak orang berani maju meski punya kapasitas. Ini juga harus dievaluasi agar kedepan makin banyak calon,” terang Wahid.
Potensi kotak kosong menimbulkan apatisme pemilih
Dalam hematnya, kotak kosong mampu menimbulkan apatisme masyarakat terhadap pesta demokrasi jika paslon tak berhasil merebut hati pemilih.
Akibatnya, tidak menutup kemungkinan paslon tersebut bisa kalah saat melawan kotak kosong.
“Apatisme tentu ada kalau kemudian satu paslon gagal meyakinkan pemilih, partisipasinya bisa rendah. Seperti pengalaman di Makassar itu pernah menang kotak kosong,” ungkap dia.
Kendati begitu, Wahid melihat adanya kotak kosong pada Pilkada juga memiliki nilai positif.
BACA JUGA: KPU Jawa Tengah Terima Kekurangan Berkas Kedua Paslon Pilgub 2024, Umumkan Hasil 14 September
Dengan munculnya paslon tunggal, maka gesekan dan gejolak di masyarakat relatif terhindar, sehingga pelaksanaan Pilkada bisa berjalan aman dan damai.
“Gejolak relatif rendah dibanding 2 atau 3 calon, tapi negatif makin banyak, masyarakat tak ada pilihan, potensi rendahnya pemilih, banyak lah,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila