“Bayangkan kalau di desa, satu sekolah SD siswanya mungkin tidak sampai 100. Tapi mereka harus menjangkau 30 sekolah, kan berat. Akhirnya dapur memilih di kota, di mana satu sekolah bisa 1.000 lebih siswa,” ujarnya.
Muhdi mencontohkan, di Kota Semarang ada SPPG yang bahkan harus ‘merayu’ sekolah agar mau ikut MBG lantaran jumlah siswanya besar dan lebih menguntungkan secara operasional.
“Kalau ini yang terjadi, berarti tidak sesuai tujuan program MBG yang seharusnya memprioritaskan anak-anak yang paling membutuhkan,” ujar Muhdi.
Muhdi pun mengusulkan agar sistem dapur MBG dibuat lebih fleksibel dan dekat dengan penerima manfaat. Ia mendukung usulan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti agar sekolah dimungkinkan menjadi penyelenggara sendiri dengan skala lebih kecil.
“Kalaupun tidak didesentralisasikan, jangan sampai satu dapur harus layani 3.000 siswa. Perkecil skalanya,” katanya.
BACA JUGA: Kisah Inspiratif Relawan SPPG Blora: Dulu Penjual Sate Jamur, Kini “Ibu Dapur” MBG
Menurutnya, dapur MBG bisa disesuaikan dengan jumlah siswa di wilayah masing-masing agar menjangkau sekolah kecil di pedesaan.
“Misalkan dua desa punya empat SD dengan total 500 siswa, kenapa tidak ada dapur khusus untuk 500 itu saja? Jadi jangkauannya lebih dekat dan anak-anak di pelosok juga kebagian,” jelasnya.
Ia berharap pemerintah mempercepat akses MBG bagi siswa yang benar-benar membutuhkan, bukan hanya bagi sekolah dengan jumlah besar di perkotaan.
“Sekarang justru yang membutuhkan belum dapat, yang tidak terlalu membutuhkan malah dapat. Ini yang harus ada perbaikan” tutup Muhdi. (*)
Editor: Farah Nazila













