Ia menambahkan, jika mengacu pada SK 487, pengelolaan kawasan tersebut bisa melalui skema kemitraan antara Perhutani dan KTH. Sebab, wilayah tersebut tergolong sebagai lahan kemitraan kehutanan, bukan hutan kemasyarakatan murni.
“Kami terbuka untuk bekerja sama. Tidak ada niat menutup ruang bagi masyarakat, tapi pengelolaan harus sesuai regulasi yang berlaku,” tegasnya.
BACA JUGA: Sukses di PPI 2025, Perhutani Blora Kenalkan Produk Unggulan Berbasis Hutan
Yeni menambahkan, jika lahan itu sudah masuk SK 149, Perhutani akan melepasnya. Namun, sesuai aturan masih Perhutani kelola sampai dengan daur kurang lebih enam tahun untuk pengelolaan kawasan tebu di petak tersebut.
Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) merupakan kebijakan pemerintah pusat untuk mempercepat pemerataan ekonomi dan redistribusi akses kelola hutan bagi masyarakat.
Akan tetapi, di sejumlah daerah, termasuk Blora, kebijakan ini kerap menimbulkan perbedaan tafsir dan gesekan antara petani hutan dan Perhutani terkait batas kewenangan serta model pengelolaannya.
Harapannya kepada Pemerintah pusat melalui Kementrian Kehutanan agar segera memperjelas pemetaan lahan Perhutani yang masuk dalam KHDPK ataupun hutan rakyat, agar di lapangan tidak terjadi gesekan antara masyarakat hutan dengan petugas Perhutani yang ada di lapangan. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













