“Dulu kalau menikah kan di usia dewasa-muda, itu usia-usia produktif usai melewati masa remaja dan menjelang masa dewasa-madya. Yang mana usia dewasa madya itu 30-35 tahun,” ungkapnya.
Pihaknya pun turut menyoroti angka pernikahan yang menurun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Amalia tak menampik, tren “Marriage is Scary” ini menjadi salah satu faktornya, meskipun bukan penyebab utama.
BACA JUGA: Bantah Tren Pernikahan Menurun, DP3AP2KB Jawa Tengah: Justru Masih Banyak Nikah di Bawah Umur
“Penurunan angka pernikahan terjadi karena alasan pandangan mengenai pernikahan yang menakutkan, ketakutan akan kegagalan. Atau bisa jadi karena kebutuhan untuk menggapai aspirasi yang lain,” katanya.
Sehingga, hal-hal lainnya seperti ingin melanjutkan karier atau pendidikan turut menjadi faktor angka pernikahan yang menurun baginya.
“Alasan ‘saya memang mau berkarya dulu’, ‘saya mau menempuh pendidikan dulu’, ‘saya mau bekerja dulu, mapan dulu’. Bisa jadi karena dua hal itu,” sambungnya.
Namun, kenapa masih marak pernikahan dini?
Kendati pernikahan menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang, namun fenomena pernikahan di bawah umur masih sering terjadi hingga saat ini.
Amalia membeberkan jawaban atas kontras yang terjadi. Baginya, hal itu berkaitan dengan kematangan emosional.
Menurutnya, pernikahan di usia remaja yang masih marak saat ini tak lepas dari teori psikologi perkembangan.
BACA JUGA: Ngaku Ingin Menikah Lagi usai Cerai dari Reza Arap, Wendy Walters Ungkap Kriteria Calon Suami Ini
“Ketika seseorang ada di masa remaja, mereka merasa seolah-olah berada di atas awan. Artinya, mereka merasa tidak terkalahkan. Jadi [beranggapan] gak apa-apa gitu, bisa kuatasi ini semua, melebihi orang-orang yang lebih dewasa,” tutur Amalia.
Hal itu muncul, kata Amalia, karena pemikiran mereka tak sematang orang dewasa. Oleh sebabnya, orang yang sudah memasuki usia dewasa justru menimbang ulang dan merasa khawatir untuk memutuskan menikah.
“Ketika sudah memasuki masa dewasa, seseorang akan lebih matang. Dia lebih memikirkan segala konsekuensi dan pertimbangan soal pernikahan. Seperti tanggung jawab untuk memberi makan, membesarkan, mengasuh, mendidik anak, dan sebagainya,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi