Tak hanya itu, Novi mengatakan kemampuan intelektual anak-anak difabel yang di bawah standar menjadikan proses belajar mengajar membutuhkan waktu yang lama. Meski begitu, hal tersebut tak menyurutkan semangat Novi dan pengajar lainnya di Roemah Difabel untuk membimbing mereka.
Bantu lebih dari 120 kaum difabel
Hingga saat ini, Roemah Difabel telah menjadi ‘rumah’ bagi 120 anak difabel di Kota Semarang. Dari 120 orang itu, 35 orang sudah bekerja di perusahaan yang bekerjasama dengan kami.
Sementara, 25 orang sudah mampu hidup mandiri. Seperti menjadi penjahit, penulis, hingga penjual warung sembako.
“Ada yang kerja di BUMN, lulus LPDP kuliah di Belanda, itu yang menjadi ikon kami. Ada juga yang tahun lalu menang lomba TIK tingkat nasional, Diskominfo RI hadiahnya study banding di Korea Selatan,”
Adapun yang sampai saat ini masih aktif di Roemah Difabel berjumlah sekitar 40 orang. Yang terdiri dari berbagai jenis difabel seperti tuli, bisu, tuna netra, autistik, difabel mental, hingga difabel fisik.
“Kami pengen mengubah paradigma masyarakat yang masih menganggap anak-anak difabel tidak bisa apa-apa, tidak memiliki kemampuan. Tapi nyatanya anak-anak bisa bekerja, bisa mandiri, bisa menang kejuaraan,” tandasnya.(*)
Editor: Farah Nazila