“Belanda yakin sudah meninggal semua, lalu mereka bikin lubang. Orang-orang diseret dan dimasukkan ke lubang itu, jadi satu lobang diisi 74 orang itu,” ucap Ponidi.
Warga tolak pemindahan seluruh jenazah ke Makam Pahlawan
Pada tahun 1960-an, tutur Ponidi, Pemerintah membongkar makam untuk memindahkan sebanyak 40 rangka jenazah ke makam pahlawan. Sebanyak 34 lainnya tetap dimakamkan di Makam Pahlawan As-syuhada.
“Pemerintah mau menghargai pejuang itu. Sebanyak 40 jenazah dipindah ke makam pahlawan. Tidak dipindahkan semuanya, karena warga di sini tidak memperbolehkan, biar sejarahnya tidak hilang,” ucap Ponidi.
Bangunan bersejarah, namun belum berstatus cagar budaya, mengapa?
Meskipun menyimpan sejarah penting, Ponidi mengaku status rumah tua maupun Makam Pahlawan As-syuhada itu belum menjadi cagar budaya maupun wisata religi. Ia pun menyebut perawatan rumah tua maupun Makam Pahlawan As-syuhada berdasar dari gotong royong warga sekitar.
Bukan tanpa alasan, Ponidi menduga hal itu lantaran berkas perihal aset rumah tua dan Makam Pahlawan As-syuhada masih terpegang oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak.
BACA JUGA: World Water Forum Bali 2024, Pemprov Jawa Tengah Gandeng Kampus Belanda Edukasi Pengelolaan Air
Sebelumnya, tutur Ponidi, wilayah itu berada di bawah naungan Pemkab Demak, sebelum akhirnya menjadi wewenang Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.
“Status belum cagar budaya, bangunan yang seperti ini masih ikut Pemerintahan Demak, pada waktu bangun ini, belum masuk Kota Semarang. Aset-aset dan dokumen masih ada di Demak, mungkin seperti itu,” beber Ponidi.
Ia berharap, Pemkot Semarang maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah turut melestarikan bangunan bersejarah itu. Terlebih, katanya, perawatan dan pemeliharan rumah tua maupun makam itu murni swasembada warga setempat.
“Tolong kepada Pemerintah, yang berkaitan dengan cagar budaya, mohon untuk diperhatikan seperti rumah-rumah bersejarah ini. Bisa dimasukkan ke cagar budaya atau wisata religi, kalau wisata bisa membantu untuk menjaga rumah rumah bersejarah seperti ini,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila