“Hal itu penting, justru untuk membuat pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak terus dipersoalkan karena hadir dari hasil putusan MK yang telah dinyatakan melanggar etika,” tuturnya.
Denny pun menegaskan bahwa membiarkan Putusan 90 tetap berlaku tanpa pemeriksaan yang cepat akan menimbulkan pertanyaan akan legitimasi pencawapresan Gibran.
Hal ini, menurutnya, bisa membuka jalan bagi kemungkinan impeachment (pelengseran) jika terpilih pada Pilpres 2024 yang akan datang. Baginya, putusan hukum yang berasal dari pelanggaran etika seharusnya kehilangan validitasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa penyelesaian dari MKMK terhadap permasalahan ini belum cukup dan menimbulkan kompleksitas akibat penyelesaian yang hanya setengah hati.
Uji formil Putusan 90
Sebagai pelapor pertama sebelum Putusan 90 terumumkan, Denny bersama dengan Zainal Arifin Mochtar telah melakukan uji formil atas putusan tersebut. Mereka berencana untuk melanjutkan proses pengaduan atas dugaan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif ke Badan Pengawas Pemilu RI.
“Hanya dengan demikian maka legitimasi konstitusional dan soal keabsahan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka bisa tertuntaskan. Jadi, Putusan MKMK belum tuntas menyelesaikan masalah. Masih menimbulkan komplikasi, akibat operasi dan solusi hukum yang setengah hati,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa kepastian dan keadilan dalam proses pilpres harus menjadi prioritas utama. Pihaknya akan terus mengawal proses-proses ini dengan harapan agar tercapai keadilan yang sebenarnya.
“Jika sedari awal proses pencalonan tidak dipastikan berjalan dengan benar, maka saya sangat tidak yakin proses selanjutnya dan hasil Pilpres 2024 juga akan berjalan dengan jujur dan adil,” tegasnya.
“Karena itu, setelah putusan MKMK ini, setelah bersama-sama Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Putusan 90 ke MK, saya mempertimbangkan untuk menggugat pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif, ini ke sengketa proses di Badan Pengawas Pemilu RI,” tandas Denny. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi