SEMARANG, beritajateng.tv – Tradisi Dugderan di Kota Semarang bukan hanya sekadar perayaan tahunan menjelang bulan Ramadan, melainkan juga merupakan warisan budaya yang telah berlangsung lebih dari satu abad.
Mukhamad Shokheh, Ph.D., seorang dosen senior dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (UNNES), menjelaskan bahwa Dugderan adalah tradisi khas yang mencerminkan perpaduan budaya dan agama di masyarakat Semarang.
Setiap daerah di Indonesia memiliki cara unik untuk menyambut bulan Ramadan. Di Magelang dan Temanggung, misalnya, masyarakat melaksanakan tradisi Adusan atau Padusan, yaitu mandi di sumber air sebagai simbol penyucian diri.
BACA JUGA: Pemkot Semarang Kembali Gelar Tradisi Dugderan, Agustina Ajak Masyarakat Hadir dan Merayakan
Sementara di Kota Semarang, tradisi Dugderan menjadi identitas budaya yang tidak bisa masyarakat temukan di daerah lain. “Tradisi Dugderan Semarang menjadi bagian dari identitas budaya Semarang dalam menyambut Ramadan,” ungkap Mukhamad Shokheh.
Sejarah Dugderan dapat ditelusuri kembali ke tahun 1881, pada masa kepemimpinan Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat.
Saat itu, masyarakat belum memiliki sistem komunikasi yang baik untuk mengetahui awal Ramadan. Sebagai solusi, sang Bupati menciptakan pengumuman resmi yang di tandai dengan bunyi bedug (“Dug”) sebanyak 17 kali dan dentuman meriam (“Der”) sebanyak 7 kali. Dari sinilah istilah “Dugderan” berasal.
Seiring perkembangan zaman, prosesi Dugderan juga mengalami transformasi. Jika dahulu meriam menjadi bagian penting dari perayaan, kini kegiatan Dugderan berfokus pada berbagai aktivitas budaya dan ekonomi.