“Itu pengalaman yang sangat emosional, antara lega sekaligus masih tegang,” katanya.
“Kami belajar bahwa mental resilience sama pentingnya dengan kemampuan teknis ketika bertugas di luar negeri,” lanjutnya.
Ia berharap pengalaman ini bisa menjadi pelajaran bagi tenaga kesehatan Indonesia.
“Selain kompetensi, harus ada penguatan kesiapan menghadapi krisis dan trauma, agar kami tetap bisa melayani sekaligus menjaga keselamatan diri,” ujarnya.
Selama berada di Hotel Himalaya, Kathmandu, Tecky bersama dua fasilitator asal Indonesia lainnya, Hetty Astri dari Poltekkes Jakarta 3 dan Riska Regia Catur Putri dari Poltekkes Pontianak, serta satu fasilitator dari WHO SEARO, Ai Tanimizu.
“Informasi yang kami terima dari WHO menyebutkan bahwa bandara ditutup untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. WHO meminta kami tetap di hotel demi keamanan,” jelas Tecky.
BACA JUGA: Unissula Tegaskan Tidak Ada Pemukulan, Ceritakan Awal Mula Kasus Dosen di RSU Sultan Agung
Meski sempat mencekam, Tecky mengaku pengalaman itu memberinya banyak pelajaran penting. Selain tetap menjaga komitmen menjalankan tugas akademik, ia juga belajar tentang koordinasi lintas negara dan organisasi internasional dalam situasi krisis.
“Ini pengalaman yang tak terlupakan. Saya belajar bagaimana kerja protokoler keselamatan WNI di luar negeri dijalankan, serta pentingnya kerja sama antara pemerintah Indonesia, WHO, dan lembaga internasional lainnya,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila