Lebih lanjut, Yosep menjelaskan bahwa perbedaan penggunaan bahasa Jawa dalam novel dewasa ini juga mempengaruhi. Menurutnya, penggunaan bahasa Jawa dalam novel saat ini tidak sesaklek zaman dulu.
“Sejak sastra Jawa modern, yang digunakan untuk novel itu bahasa Jawa ngoko. Kalau dulu memang pakai kromo inggil, tapi sekarang pakai bahasa Jawa ngoko, malah kadang ada kata yang kasar, kalau dulu nggak ada kata kasar sama sekali,” lanjutnya.
BACA JUGA: Giatkan Geliat Kesastraan di Kota Semarang, Dekase Bincangkan Sastra Lewat Ngobras
Sekaligus jadi ungkapan protes
Selain sebagai tanda kecintaannya terhadap bahasa Jawa, merilis buku berbahasa Jawa nyatanya juga sebagai bentuk ungkapan protes. Ia yang sejatinya merupakan ‘sastrawan’ bahasa Inggris malah mampu berkontribusi dalam pelestarian bahasa Jawa.
“Salah satu ungkapan protes, karena saya bukan sastrawan Jawa tapi saya bisa kritis lewat tulisan,” ucapnya.
Selain itu, Yosep berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan pelestarian bahasa daerah. Ia juga berharap adanya upaya untuk lebih mengenalkan bahasa daerah, salah satunya bahasa Jawa, kepada generasi muda.
“Saya sebagai orang Jawa, kalaupun saya bisa berkontribusi, entah seperti apa, entah seberapa, itu merupakan kebahagiaan saya. Tugas utama saya memang dosen bahasa Inggris, tapi kecintaan saya terhadap bahasa Jawa tidak bisa lepas begitu saja,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi