Mahfud lantas menjelaskan mengenai penggunaan metode rukyat dan hisab sebagai penentu awal bulan dalam perayaan Idul Fitri. Ia menyatakan bahwa kedua metode tersebut sama-sama boleh dalam agama Islam.
“Perbedaan waktu hari raya sama-sama berdasar Hadits Nabi, ‘Berpuasalah kamu jika melihat hilal (bulan) dan berhari rayalah jika melihat hilal’ (Shuumuu biru’yatihi wa afthiruu birukyatihi). Maksudnya setelah melihat hilal tanggal 1 bulan Hijriyah. Melihat hilal bisa dengan rukyat, bisa dengan hisab,” tulis Mahfud dalam unggahan twitnya.
Lebih lanjut, Mahfud pun menjelaskan soal prakik pelaksanaan rukyat dan hisab.
“Rukyat adalah melihat dengan mata/teropong seperti praktik zaman Nabi. Hisab adalah melihat dengan hitungan ilmu astronomi. Rukyat tentu didahului dengan hisab juga untuk kemudian dicek secara fisik. NU dan Muhammadiyah sama-sama berhari raya pada tanggal 1 Syawal. Bedanya hanya dalam melihat derajat ketinggian hilal,” ungkapnya.
Sementara itu, belum lama ini telah muncul kabar baik mengenai perkara penolakan ersebut. Menurut pernyataan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti, kini kedua Pemerintah Kota (Pemkot) tersebut telah memberikan izin.
Kasus penolakan izin penggunaan lapangan oleh Pemerintah Kota Pekalongan dan Sukabumi untuk kegiatan sholat Ied pun telah berakhir damai. (*)