Scroll Untuk Baca Artikel
Catatan Editor

Batasan Usia Pelamar Kerja yang Diskriminatif di Indonesia, Perempuan Terpuruk

×

Batasan Usia Pelamar Kerja yang Diskriminatif di Indonesia, Perempuan Terpuruk

Sebarkan artikel ini
farah nazila
Farah Nazila. (Dokumen Pribadi)

INDONESIA merupakan negara yang unik, saking uniknya, syarat untuk mendaftar pekerjaan pun dibuat sangat berat. Batasan usia dijadikan salah satu syarat yang paling sering ditemukan.

Pada tahun 2023 lalu, media sosial X heboh dengan unggahan warganet soal perusahaan yang menerapkan batas usia pelamar kerja, terutama fresh graduate maksimal 22 tahun. Padahal, umumnya, lulusan baru seringnya berusia di atas 22 tahun. Perihal batasan umur calon karyawan ini, pihak Kementerian Ketenagakerjaan tak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka menyebut bahwa syarat itu lumrah perusahaan lakukan manapun untuk merekrut para pekerjanya.

Di samping itu, media juga sempat heboh dengan kabar gugatan uji materi Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan oleh seorang pria asal Bekasi bernama Leonardo Olefins Hamonangan. Pasalnya berbunyi:

“Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.”

Leonardo menilai bahwa dalam pasal tersebut melanggengkan perusahaan untuk membuat peraturan semena-mena bagi para calon karyawannya, salah satunya adalah syarat batasan usia 23 tahun yang tentunya menyulitkan banyak pencari kerja.

BACA JUGA: Ramai Investor di Tengah Badai PHK Industri Tekstil, Apa yang Terjadi di Jawa Tengah?

Gugatan yang Leonardo layangkan tersebut sayangnya, tidak berbuah baik. MK menolak seluruh uji materi Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. Sebab, menurut Hakim Arief Hidayat, tindakaan diskriminatif hanya eksis jika berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, dan keyakinan politik. Sedangkan pengalaman kerja, latar belakang pendidikan serta pembatasan usia bukan tindakan diskriminatif.

Tetapi, merujuk kasus Leonardo ini, dalam ayat Ketenagakerjaan yang menyebut ‘merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan’ memang sangat rentan disalahgunakan perusahaan. Alih-alih membuat kriteria objektif, mereka justru membuat kriteria subjektif, seperti penampilan fisik menarik, status pernikahan, gender yang bahkan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang mereka buka. Dengan adanya keputusan MK yang tidak memasukkan pembatasan usia, pengalaman kerja dan latar belakang pendidikan dalam tindakan diskriminatif, ini sama saja seperti melanggengkan perusahaan untuk bertindak semena-mena.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan