“Untuk style, aku sekarang masih meraba-raba style konten, tapi aku memang lebih ke berbagi pengalaman membaca aja. Ketika aku baca buku ini ngerasanya kaya gini,” jelasnya.
Keuntungan jadi bookstagram
Lebih dari enam bulan menjadi pegiat bookstagram, Nisa menerima banyak manfaat baru. Yang pertama, ia kini memiliki target jumlah buku yang harus ia baca. Yang awalnya hanya satu atau dua buku saja, kini bisa lebih dari itu.
Ia pun bisa mengeksplor bebagai genre tulisan yang sebelumnya ia belum pernah baca. Apalagi, imbuh Nisa, sesama pegiat bookstagram biasanya akan berbagi genre buku kesukaan masing-masing.
“Aku juga jadi punya catatan membaca, yang awalnya baca aja, tapi karena aku merasa punya tanggung jawab untuk unggah konten, jadi aku harus punya catatan baca,” beber Nisa.
Akan tetapi, di balik segudang manfaat menjadi bookstagram, Nisa ternyata menemui beberapa kendala. Yang pertama jelas rasa malas.
BACA JUGA: Menilik Book Boss, Toko Buku Impor yang Masih Bertahan di Semarang
Membaca buku, kata Nisa, walau merupakan hobinya sejak kecil, namun ada masanya ia merasa malas. Apalagi ketika buku baru datang, buku lama seakan terpinggirkan.
“Tantangan kedua, sebelum bikin bookstagram aku baca ya baca aja, enggak harus mikir poinnya apa, nanti kontennya akan gimana. Konsistensi buat tetap upload buku bacaan itu juga susah,” tutur dia.
Meski begitu, Nisa tetap tak kapok menjadi pegiat bookstagram. Ia bahkan mengikuti komunitas bookstagram online, Kubu Setengah Tuju.
“Kalau kamu cinta membaca dan ingin berbagi pengalaman membaca, ya udah share aja. Yang harusnya ditakutin itu bukan tulisan jelek tapi takut ketika enggak mau nulis, jadinya enggak bisa berdampak,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi