Sumur tersebutlah yang kemudian melahirkan tradisi tahunan yakni gebyuran Bustaman. Gebyuran Bustaman sendiri rutin dilaksanakan sehari sebelum bulan Ramadan sejak tahun 2013 silam.
“Sumurnya nggak pernah surut, ada terus airnya. Padahal daerah lain surut,” lanjutnya.
BACA JUGA: Jaga Kualitas Udara di Semarang, Pemkot Bentuk Kampung Iklim hingga Penghijauan
Bustaman: kampung kuno yang tetap bertahan di tengah modernisasi
Sementara itu, Ashar, Ketua RW, mengatakan bahwa wilayahnya merupakan salah satu kampung kuno yang masih bertahan. Meski begitu, ia tak menampik adanya kekhawatiran di masa depan Kampung Bustaman akan hilang tergusur pembangunan.
“Sekarang mungkin masih bisa bertahan karena ada saya dan Pak Slamet yang menjaga, tapi bagaimana besok kalau kami sudah meninggal?” katanya.
Ia pun mencontohkan ada beberapa kampung tua yang kian tergusur. Salah satunya yakni Kampung Sekayu. Menurutnya, saat ini keberadaan Kampung Sekayu kian terpinggirkan lantaran pembangunan yang masif.
BACA JUGA: Pemkot Semarang Kembangkan Potensi Wisata Kampung Melayu
Ia pun berharap, pemerintah dan juga pihak terkait dapat memberikan perhatian terhadap eksistensi kampung tua yang sarat akan sejarah di Kota Semarang. Baginya, keberlanjutan kampung kuno termasuk Kampung Bustaman perlu untuk terus dilestarikan.
“Kota Semarang identik dengan kampung-kampung kuno, walau mungkin kian sedikit tapi sejarahnya kan masih ada, ini jangan sampai hilang,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi